BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Inteligensi
Lewis Madison Terman pada tahun 1916 mendefinisikan
inteligensi sebagai kemampuan seseorang untuk berpikir secara abstrak. H. H.
Goddard pada tahun 1946 mendefinisikan inteligensi sebagai tingkat kemampuan
pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dan
untuk mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang. V.A.C. Henmon mengatakan
bahwa inteligensi terdiri atas dua faktor, yaitu kemampuan
untuk memperoleh pengetahuan dan pengetahuan yang telah diperoleh. Baldwin pada
tahun 1901 mendefinisikan inteligensi sebagai daya atau kemampuan untuk
memahami. Edward Lee Thorndike (1874-1949) pada tahun 1913 mendefinisikan
inteligensi sebagai kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari pandangan
kebenaran atau fakta.[1]
George
D. Stoddard pada tahun 1941 mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk
memahami masalah-masalah yang bercirikan mengandung kesukaran, kompleks,
abstrak, ekonomis, diarahkan pada suatu tujuan, mempunyai nilai sosial, dan
berasal dari sumbernya. Walters dan Gardber pada tahun 1986 mendefinisikan
inteligensi sebagai suatu kemampuan atau serangkaian kemampuan-kemampuan yang
memungkinkan individu memecahkan masalah, atau produk sebagai konsekuensi
eksistensi suatu budaya tertentu. Flynn pada tahun 1987 mendefinisikan
inteligensi sebagai kemampuan untuk berpikir secara abstrak dan kesiapan untuk
belajar dari pengalaman.
Jadi
inteligensi dapat diartikan sebagai keahlian memecahkan masalah dan kemampuan
untuk beradaptasi pada, dan belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari.
2. Faktor Yang Mempengaruhi Inteligensi
Seperti yang kita
ketahui bahwa setiap individu memiliki tingkat intelegensi yang berbeda. Hal
ini seperti yang disebutkan diatas ada pandangan yang menekankan pada bawaan
(pandangan kualitatif) dan ada yang menekankan pada proses belajar (pandangan
kuantitatif) sehingga dengan adanya perbedaan pandangan tersebut dapat
diketahui bahwa intelegensi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut,
diantaranya adalah:
1.
Faktor Pembawaan
Faktor
pembawaan merupakan faktor pertama yang berperan didalam intelegensi. Faktor
ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau
kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh
faktor bawaan. Oleh karena itu, didalam satu kelas dapat dijumpai anak yang
bodoh, agak pintar, dan pintar sekali, meskipun mereka menerima pelajaran dan
pelatihan yang sama.
Misalnya
saja, ada anak-anak yang dengan susah payah mengikuti suatu pelajaran, ada pula
anak-anak yang dengan mudah dapat menangkap seluruh materi yang diberikan oleh
gurunya. Betapapun anak-anak tidak dapat menangkap seluruh materi tersebut
belajar, jika faktor pembawaannya kurang, dia tidak akan dapat menyaingi anak
yang pintar.
2.
Faktor Minat dan
Pembawaan yang Khas
Faktor
minat ini mengarahkan perbuatan kepada sesuatu tujuan dan merupakan dorongan
bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan atau motif yang
mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luas, sehingga apa yang
diminati oleh manusia dapat memberikan dorongan untuk berbuat lebih giat dan
lebih baik.
3.
Faktor
Pembentukan
Pembentukan
adalah segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan
intelegensi. Disini dapat dibedakan antara pembentukan sengaja, seperti yang
dilakukan disekolah dan pembentukan yang tidak sengaja, misalnya pengaruh alam
disekitarnya.
4.
Faktor
Kematangan
Dimana
tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap
organ manusia baik fisik maupun psikis, dapat dikatakan telah matang, jika ia
telah tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya
masing-masing. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila anak-anak belum mampu
mengerjakan atau memecahkan soal-soal matematika dikelas empat SD, karena
soal-soal itu masih terlampau sukar bagi anak. Organ tubuhnya dan fungsi
jiwanya masih belum matang untuk menyelesaikan soal tersebut dan kematangan
berhubungan erat dengan umur
5.
Faktor Kebebasan
Faktor
kebebasan artinya manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan
masalah yang dihadapi. Disamping kebebasan memilih metode, juga bebas dalam
memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.
3. Teori-Teori Tentang Inteligensi
1. Teori
Uni – Factor
Pada
tahun 1911, Welhem Stern mengenalkan suatu teori yang disebut teori “Uni-factor
theory”. Teori ini dikenal juga sebagai teori kepasitas umum. Menurut teori ini
inteligensi merupakan sebagai kapasitas atau kemampuan umum. Oleh karena itu, inteligensi
juga bersifat umum. Reaksi atau tindakan seseorang dalam menyesuaikan diri
terhadap lingkungan atau memecahkan masalah adalah bersifat umum pula.
Kapasitas umum itu timbul akibat pertumbuhan fisiologi atau akibat belajar. Kapasitas umum (General Capacity)
yang ditimbulkan itu lazim dikemukakan
dengan kode “G”.
2.
Teori
“Two-Factors”
Pada
tahun 1904 yaitu sebelum stern, seorang ahli matematika bernama Charles
Spearman, mengajukan sebuah teori tentang inteligensi. Teori Spearman itu
dikenal dengan sebutan “Two Kinds of Factors Theory”. Spearman mengembangkan
teori inteligensi berdasarkan faktor mental umum yang diberi kode “G” serta
faktor-faktor spesifik yang diberi tanda “S” menentukan tindakan-tindakan
mental dalam mengatasi permasalahan.
Orang
yang inteligensinya memiliki faktor “G” yang luas, memiliki kapasitas untuk
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dia dapat mempelajari bermacam-macam
pelajaran seperti matematika, bahasa, sains, sejarah, seni, dan sebagainya.
Dengan menggunakan berbagai simbol abstrak. Orang yang faktor “G” sedang atau
rata-rata,ia mempunyai kemampuan sedang untuk mempelajari bidang-bidang studi.
Luasnya faktor “G” ditentukan pada gagasan, bahwa fungsi otak tergantung pada
ada dan tidaknya struktur atau koneksi yang tepat bagi situasi atau masalah
tertentu yang khisus. Dengan demikian luasnya faktor “S” mencerminkan kerja
khusus dari otak, bukan karena struktur otak faktor “S” lebih bergantung pada
organisasi neurologis yang berhubungan dengan kemampuan-kemampuan khusus.
3.
Teori “Multi-Factors”
Teori
intellegensi Multi faktor dikembangkan oleh E.L Thomdike. Teori ini tidak
berhubungan dengan konsep general ability
atau faktor “G”. Menurut teori ini, inteligensi terdiri dari bentuk
hubungan-hubungan neural antara stimulus dan respon.hubungan-hubungan neural
ini yang mengarahkan tingkah laku individu. Ketika seseorang dapat menyebutkan
sebuah kata, menghafal sajak, menjumlahkan bilangan atau melakukan pekerjaan, itu
berrati bahwa ia dapat melakukan itu karena terbentuknya koneksi-koneksi dalam
sistem syaraf akibat belajar atau latihan. Manusia diperkirakan memiliki 13
milyar urat syaraf sehingga memungkinkan hubungan neural yang banyak sekali.
Jadi, inteligensi menurut teori ini adalah jumlah koneksi aktual dan potensial
di dalam urat syaraf.
4.
Teori “Primari –
Mental – Ability”
L.L
Thurstone telah berusaha menjelaskan tentang inteligensi yang abstrak. Ia
dengan menggunakan tes-tes mental dan teknik-teknik statistik khusus membagi
kemampuan inteligensi menjadi tujuh kemampuan primer, yaitu:
a. Kemampuan
numerial/matematis
b. Kemampuan
verbal/bahasa
c. Kemampuan
abstraksi berupa kemampuan visualisasi dan berpikir
d. Kemampuan
menghubungkan kata-kata
Kemampuan
membuat keputusan baik induktif maupun deduktif menurut teori
“primari-Mental-ability” ini inteligensi merupakan penjelasan daripada
penjelasan ke tujuh kemampuan itu adalah inde-penden serta menjadikan
fungsi-fungsi pikiran yang berbeda atau berdiri sendiri. Para ahli menyoroti
teori ini sebagai teori yang mengandung
kelemahan karena menganggap adanya pemisahan fungsi atau kemampuan pada mental
individu. Menurut mereka setiap kemmpuan
individu adalah saling berhubungan secara integrative.
5.
Teori Sampling
Untuk
menyelesaikan tentang inteligensi, Godfrey H. Thomson pada tahun 1916
mengajukan teori yang disebut teori sampling. Teori ini kemudian disempurnakan
lagi dari berbgai sampel. Dunia berisikan berbgaai bidang pengalaman itu
terkuasai oeh pikiran manusia tapi tidak semuanya. Masing-masing bidang hanya
dikuasai sebagian-sebagian saja. Ini mencerminkan kemampuan mental manusia. Inteligensi
berupa kemampuan yang over lapping. Inteligensi
beroperasi dengan terbatas pada setiap sampel dari berbagai kemampuan atau
pengalaman dunia nyata. Sebagai gambarannya, misalnya saja dunia nyata terdapat
kemampuan atau bidang-bidang pengalaman A,B,C. Inteligensi bergerak sebagai
sampel misalnya sebagian A, dan sebagian B atau dapat pula sebagian dari bidang
A,B,dan C.[2]
6.
Teori Multiple Intelligence
Kecenderungan
Ilmu Psikologi sekarang tidak lagi mengandalkan teori faktor “G”, tetapi
beralih ke apa yang dinamakan “Kecerdasan Majemuk” atau MI (Multiple Inteligensi).
Konsep MI ini dipopulerkan oleh Howard Gardner
(1943-....), seorang psikolog dari Harvard University, AS. Gardner
menyatakan bahwa kecerdasan tidak terdiri dari satu yang umum dan beberapa yang
khusus, melainkan memang benar-benar ada beberapa inteligensi khusus yang
masing-masing mandiri, yaitu (dalam buku versi 1983) kecerdasan bahasa (linguistic), logika-matematika (logic-mathematical), ruang (spatial), gerak tubuh (bodily-kinesthetic), musik (musical), antarpribadi (interpersonal) dan dalam diri (intrapersonal). Dalam versi 1999
ditambah satu lagi, yang kedelapan, yaitu kecerdasan tentang alam (naturalistic intellegensi).[3]
4. Tes Inteligensi
Tes inteligensi
adalah tes yang digunakan untuk mengukur inteligensi seseorang. Tes ini ada
bermacam-macam karena adaya perkembangan ilmu. Tes yang baik haruslah reliable
dan valid. Orang yang pertama membuat tes untuk mengukur intelektual
seseorang adalah Sir Francis Galton, sepupu Charles Darwin.
Galton mendasarkan
tes inteligensinya pada asumsi bahwa keunggulan inteligensi seseorang tercermin
dalam keunggulan kekuatan fisiknya. Dengan demikian, variabel yang diukur dalam
tes inteligensinya adalah ukuran batok kepala, ketajaman penglihatan, ingatan
terhadap bentuk visual, kemampuan bernafas, dan kekuatan genggaman tangan. Dia
sangat kecewa, karena ternyata para cendekiawan yang tersohor di Inggris,
ketika itu, tidak dapat dibedakan dengan orang biasa atas dasar ukuran batok
kepala dan kuatnya genggaman tangan.[4] Walau demikian, Galton telah berjasa memulai
ide untuk mengukur inteligensi seseorang.
Selanjutnya
dikembangkanlah tes inteligensi yang dianggap mendekati tes inteligensi
kontemporer.
1.
Tes Binet-Simon
Tes
ini diajukan oleh seotang dokter yang juga ahli psikologi berkebangsaan
Perancis, Alfred Binet. Ia kemudian dibantu sejawatnya, Theophile Simon. Seri
tes Binet-Simon ini pertama kali diumumkan antara 1908-1911, yang diberi nama Chelle
Matrique de Inteligence atau skala pengukur inteligensi.[5]
Tes
Binet-Simon memperhitungkan 2 hal, yaitu:[6]
a. Umur
kronologis (chronological age –CA), yaitu umur seseorang sebagaimana yang
ditunjukkan dengan hari kelahirannya atau lamanya ia hidup sejak tanggal
lahirnya
b. Umur
mental (mental age –MA), yaitu umur kecerdasan sebagaimana yang ditunjukkan
oleh tes kemampuan akademik.
Tes
kecerdasan dari Binet diperuntukkan bagi anak berumur 2 sampai 15 tahun. Untuk
tiap tingkat usia disediakan enam sub tes untuk setiap dua bulan. Jumlah sub
tes yang bisa dijawab dengan benar menunjukkan usia mental dari anak tersebut.[7]
Lantas dilihat apakah usia mental anak sesuai degan usia kronologisnya.
Butir
soal tes yang pada umumnya dikembangkan oleh Binet, dikembangkan lagi oleh
Lewis Terman di Stanford University. Pada tahun 1916 ia mempublikasikan revisi
Stanford dari tes Binet, yang kemudian dikenal dengan nama Stanford Binet
Intelligence Scale; dan direvisi lagi pada tahun 1937, 1960, 1972, dan
terakhir pada tahun 1986. Terman menerapkan indeks inteligensi praktis yang
disarankan oleh ahli psikologi Jerman, William Stern. Indeks ini adalah intelligence
quotient yang lazim dikenal sebagai IQ. Indeks ini mengekspresikan
inteligensi sebagai rasio usia mental (MA) terhadap usia kronologis (CA).[8]
IQ=
X
100
Untuk
menginterpretasikan nilai IQ, Terman mengklasifikasikan IQ dalam beberapa
kategori, sebagai berikut:[9]
IQ
|
Deskripsi Verbal
|
Persentase Populasi
dalam Setiap Kelompok
|
0-19
|
Idiot
|
1
|
20-49
|
Embicile
|
|
50-69
|
Moron
|
2
|
70-79
|
Inferior
|
6
|
80-89
|
Bodoh
|
15
|
90-109
|
Normal
|
46
|
110-119
|
Pandai
|
18
|
120-129
|
Superior
|
8
|
130-139
|
Sangat Superior
|
3
|
140-179
|
Gifted
|
|
180 ke atas
|
Genius
|
1
|
2.
Tes Wechsler
Ini
adalah tes inteligensi yang dibuat oleh Wechsler Bellevue tahun 1939. Tes ini
ada dua macam. Pertama untuk umur 16 tahun ke atas, yaitu Wechsler Adult
Intelligence Scale (WAIS) dan yang kedua untuk anak-anak yaitu Wechsler
Intelligence Scale for Children (WISC). Tes Wechsler meliputi dua sub, verbal
dan performance (tes lisan dan perbuatan, serta keterampilan). Tes lisan
meliputi pengetahuan umum, pemahaman, ingatan, mencari kesamaan, hitungan dan
bahasa. Sedangkan tes keterampilan meliputi menyusun gambar dan sandi (kode
angka-angka).[10]
Tes Wechsler ini berbeda dengan tes Binet. Dalam tes Binet diadakan
pertandingan antara MA dan CA, sedangkan dalam tes Wechsler tes IQ hanya
semata-mata hasil dari MA saja.[11]
Namun keduanya sama-sama dilakukan secara perorangan.
3.
Tes Army Alfa
dan Betha
Tes
ini digunakan untuk mengetes calon-calon tentara di Amerika Serikat. Tes Army
Alfa khusus untuk calon tentara yang pandai membaca, sedangkan Army Betha untuk
calonn yang tidak pandai membaca. Tes ini pada mulanya untuk memenuhi keperluan
yang mendesak dengan menyeleksi calon tentara waktu perang dunia dua. Salah
satu kelebihannya dibandingkan dengan tes Binet-Simon dan tes Wechsler adalah
tes ini dilaksanakan secara rombongan (kelompok) sehingga menghemat waktu.[12]
4.
Tes Progressive
Matrices
Tes
inteligensi ini diciptakan oleh L.S. Penrose dan J.C. Laven di Inggris tahun
1938. Tes ini dapat diberikan secara rombongan dan perorangan. Berbeda dengan
Binet dan Wechsler, tes ini tidak menggunakan IQ tetapi menggunakan Percentile.[13]
Persentil
menunjukkan kedudukan persen seseorang di antara suatu populasi. Seorang yang
inteligensinya menduduki percentile 75 berarti berada di atas 75% drai seluruh
populasi, suatu kedudukan yang termasuk tinggi.[14]
Tes intelegensi juga
dapat dikelompokkan menjadi tes individual dan tes kelompok. Tes individual
dilakukan secara personal, seperti tes Binet, tes Wechsler. Sementara tes
kelompok dilakukan bersama sekaligus, seperti tes Army Alfa dan Betha.
Tes kelompok lebih
nyaman dan ekonomis ketimbang tes individual, namun juga ada kekurangannya.
Saat tes dilakukan pada satu kelompok besar, peneliti tak dapat menyusun
laporan individual, menentukan tingkat kecemasan murid, dan sebagainya. Dalam
situasi tes kelompok besar, murid mungkin tidak memahami instruksi atau mungkin
diganggu oleh murid lainnya.[15]
5. Ciri-ciri Perilaku Inteligensi
Menurut
Whitherington, sebutan inteligensi atau keerdasan ebetulnya kurang tepat. yang
lebih tepat adalah “ kelakuan cerdas”. Alasannya, kalau disebut inteligensi,
seakan-akan itu melekat pada badan, menurutnya inteligensi bukan merupakan
benda (substansi), melainkan suatu pengertian, yaitu kumpulan kelakuan yang
menunjukkan hal yang cerdas. Pengertian inteligensi menurut Whitherington, mempunyai
ciri-ciri hakiki sebagai berikut:
1. cepat;
makin cepat suatu pekerjaan diselesaikan, makin cedaslah orang yang
menyelesaikan.
2. cekatan;
biasanya dihubungkan dengan pekerjaan tangan dengan mudah dan ringkas dalam
menjelaskan sesuatu.
3. tepat;
sesuai dengan tuntunan keadaan, misalnya mengukur jalan yang panjang dengan
besaran yang benar pula. Juga berarti mengukur dengan tepat, tidak lebih tidak
kurang.
Dengan demikian,
dapatlah disebut bahwa inteligensi adala kesemournaan perbuatan kecerdasan.
Yang dimaksud kecerdasan ialah kecerdasan (activity)
yang efisien. dan dikatakan efisien apabila memenuhi ketiga ciri-ciri hakiki
diatas.[16]
Penjelasan yang lebih
jelas mengenai ciri-ciri tingkah laku atau perilaku inteligensi ini dikemukakan
oleh Ngadim Purwanto. Dikatakan, suatu perbuatan dapat dianggap inteligen bila
memenuhi syarat antara lain:
o
Masalah
yang dihadapi sedikit banyak merupakan masalah yang baru bagi yang bersangkutan.
Seumpama, ada soal: “mengapa api jika ditutup dengan sehelai kalung bisa
padam?” apabila ditanyakan pada anak yang baru bersekolah dan ia dapat menjawab
dengan betul, jawaban itu inteligen. Akan tetapi, jika pertanyaan itu dijawab
oleh anak yang baru mendapatkan pelajaran tentang ilmu tentang api, hal itu
dapat dikatakan inteligen.
o
Perbuatan
inteligen sifatnya sarasi tujuan dan ekonomis. Untuk mencapai
tujuan yang hendak diselesaikan, dicarikan jalan yang dapat menghemat waktu
maupun tenaga.
o
Masalah
yang dihadapi harus mengandung tingkat kesulitan bagi yang bersangkutan.
Ada suatu masalah yang bagi orang dewasa mudah dipecahkan atau dijawab, hampir
tanpa berfikir. Sedangkan bagi anak anak harus dijawab dengan berfikir. Apabila
seorang anak bisa menjwab jawaban itu maka anak itu inteligen.
o
Keterangan
pemecahannya harus dapat diterima oleh masyarakat.
Misalnya, apa yang harus anda perbuat jika anda lapar? kalau jawabnya saya
harus mencuri makanan, tentu saja jawaban itu
tidak inteligen.
o
Perbuatan
nteligen seringkali menggunakan daya mengabstraksi.
pada waktu berpikir tanggapan dan ingatan yang tidak perlu, harus disingkirkan.
o
Perbuatan
inteligen bercirikan kecepatan. Proses pemecahannya
relatif cepat, sesuai dengan masalah yang dihadapi.[17]
o
Membutuhkan
pemusatan perhatian dan menghindarkan perasaan yang mengganggu jalannya
pemecahan maalah yang sedang dihadapi.[18]
6.
Kontroversi Inteligensi
Apakah ada faedahnya untuk menggunakan skor tes
kecerdasan murid guna menempatkan mereka dalam kelompok kemampuan? Ada dua tipe pengelompokan kemampuan telah dipakai di
dalam dunia pendidikan yaitu: pengelompokan antar kelas dan pengelompokan dalam
kelas. Berikut ini penjelasannya:
1.
Pengelompokan kemampuan antar
kelas.
Tipe
pengelompokan ini mengelompokan murid berdasarkan kemampuan atau prestasi
mereka.Penelusuran (tracking) telah lama dipakai di sekolah sebagai cara
mengorganisasi murid terutama di tingkat menengah (Slavin, 1990, 1995).
Penelusuran diyakini bisa mengelompokan rentang keahlian dalam kelompok murid,
sehingga memudahkan guru mengajar mereka.Penelusuran kemampuan ini diyakini
bisa mencegah murid yang kurang mampu untuk masuk ke kelompok murid yang lebih
mampu.Pengelompokan antar kelas adalah membagi murid ke dalam jalur persiapan
ke universitas dan jalur umum. Di dalam dua jalur ini, dapat dilakukan
pengelompokan lebih jauh, seperti dua level pelajaran matematika untuk murid
yang akan masuk kuliah. Bentuk penelusuran
kemampuan lainnya adalah dengan mempertimbangkan area kemampuan yang
berbeda-beda. Misalnya murid yang sama mungkin bisa masuk ke kelompok jalur
cepat matematika dan bahasa Inggris. Pengkritik pendekatan ini mengatakan bahwa
cara ini menstigmasi murid yang dimasukkan ke kelompok kelas lemah
(Smith-Maddox & Wheelock, 1995). Misalnya murid dapat dicap sebagai
kelompok “jalur lambat” atau “kelompok bodoh”
. Para pengkritik juga menekankan bahwa kelas untuk ’’jalur
lambat’’ kerap diajar oleh guru yang kurang berpengalaman, sedikit sumber daya,
dan ekspetasi rendah (Wheelock, 1992). Ringkasnya pengelompokan atau penjaluran
adalah isu kontroversial karena membatasi kemampuan murid yang dikelompokan
sebagai kelompok lemah dalam belajar.Sering kali skor pada tes IQ kelompok
sebagai kelompok lemah dalam belajar.Seringakali skor pada tes IQ kelompok
dipakai untuk menempatkan murid dalam jalur khusus.Peneliti telah menemukan
bahwa tes IQ kelompok bukan predictor yang baik tentang seberapa baguskah murid
dalam mempelajari area tertentu.
2.
Pengelompokan kemampuan
dalam kelas.
Pengelompokan ini
menempatkan murid dalam dua atau tiga kelompok di dalam kelas dengan
mempertimbangkan perbedaan kemampuan murid.Pengelompokan kemampuan dalam kelas
ini biasanya dilakukan disekolah dasar dimana guru mengelompokan muridnya
berdasarkan kemampuan membacamereka. Guru kelas dua mungkin memberi tugas pada
satu kelompok untuk membaca buku biasa dipakai untuk kelas tiga semester
pertama; kelompok lainnya mungkin diberi tugas untuk kelas dua semester
pertama; dan kelompok tiga memakai tugas untuk kelas satu semester kedua.
Pengelompokan dalam ere kelas ini biasanya dilakukan di sekolah menengah.Area
mata pelajarannya biasanya adalah membaca dan matematika.Meskipun banyak guru
di sekolah dasar menggunakan pengelompokan kemampuan dalam kelas, tidak ada
riset yang mendukung strategi ini.
[1]Jhon W.
Santrock, Psikologi Pendidikan, ed.2, (Jakarta: Kencana, 2010), hal.134
[2] Abdul
Rahman dan Shaleh Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar Dalam
Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 184-188
[3] Sarlito
W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum,
(Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hal. 158
[4] Alex
Sobur, Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia,
2003), hal. 165
[5] Ibid
[6] Abdul
Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, op. cit. Hal:193
[7] Nana
Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2005), hal: 99
[8] Alex
Sobur, op.cit. hal: 166-167
[9] Ibid.
hal:170
[10] Abdul
Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, op. cit. Hal: 194-195
[11] Alex
Sobur, op.cit. hal: 174
[12] Abdul
Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, op. cit. Hal: 195
[13] Ibid.
[14] Nana
Syaodih Sukmadinata, op.cit. hal: 100.
[15] Jhon W.
Santrock, op.cit., hal.137
[16]Alex
Sobur. PsikologiUmum. Pustaka Setia.
2003. hal. 159
[17]Abdul
Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab. Psikologi Suatu Pengantar dalam
Prespektif Islam. Jakarta: Kencana. 2004. hal. 188-189
[18] Alex
Sobur. Op,. Cit. hal. 160
0 komentar:
Posting Komentar