Pages

Featured Posts

Kamis, 22 Mei 2014

Makalah PEMIKIRAN PENDIDIKAN AL-GHAZALI DAN IBNU KHALDUN

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Beberapa pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan diantaranya adalah:
1.      Transinternalisasi ilmu dan proses pendidikan merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran Islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ilallah.[1]
2.      Ia lebih memegang paham empirisme[2], bahwa seorang anak lebih ditentukan oleh lingkungannya. Hal ini sesuai hadis Rasulullah yang artinya:
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Yahudi (HR. Muslim).
Hadis ini menekankan pada peran orang tua dalam pendidikan anak. Lingkungan selanjutnya setelah lingkungan keluarga juga lingkungan pendidikan dan lingkungan pergaulan. Jika anak diajarkan dan dibiasakan melakukan hal baik, maka ia akan melakukan hal-hal baik, begitupula sebaliknya. Di sinilah pentingnya pendidikan.
3.      Tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. [3] Hal ini sesuai firman Allah dalam surat Adz Dzariyat ayat 56.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.
4.      Menurut Al-Ghazali, pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia juga menjelaskan ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan, yakni:

a.       Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri
b.      Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw., sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
c.       Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
d.      Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat
e.       Di hadapan muridnya, guru harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya
f.       Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didiknya
g.      Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak didiknya
h.      Guru harus memahami minat, bakat, dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya
i.        Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu[4]
5.      Al-Ghazali menjelaskan bahwa peserta didik adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah.[5] Sehingga disini berarti tugas guru adalah mengarahkan agar potensi ini disalurkan dengan tepat, yakni keimanan kepada Allah Swt.
Menurut Al-Ghazali dalam menuntut ilmu, peserta didik memiliki tugas dan kewajiban yaitu: mendahulukan kesucian jiwa, bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan, jangan menyombongkan ilmunya dan menentang guru, mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan[6].
6.      Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok, yakni ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan ilmu yang terpuji pada taraf tertentu. Sementara dari segi kepentingannya, Al-Ghazali membagi ilmu menjadi 2, yakni ilmu yang wajib/fardhu (ilmu agama, ilmu yang bersumber dari kitabullah) dan ilmu yang fardhu kifayah (seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian, dll).[7]
7.      Al-Ghazali mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah ,yaitu:
a.       Ilmu Al-Quran dan ilmu agama seperti fiqih, hadis, dan tafsir
b.      Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj serta lafadz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi membantu ilmu agama
c.       Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknoogi yang beraneka macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik
d.      Ilmu kebudayaan, seperti syair, sejarah, dan beberapa cabang filsafat.[8]

B.  Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan
Beberapa konsep pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan adalah:
1.      Ibnu Khaldun lebih melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat[9]
2.      Dalam mencapai pengetahuan yang bermacam-macam, seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat[10]
3.      Pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban[11]
4.      Perbedaan lapisan sosial timbul dari hasil kecerdasannya yang diproses melalui pengajaran[12]
5.      Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi al ‘ulum al-‘aqliyah  dan al-‘ulum al-naqliyah[13]. Yang harus diajarkan pada anak didik adalah ilmu syari’ah, ilmu filsafat, ilmu alat yang membantu ilmu agama, dan ilmu alat yang membantu ilmu falsafah. Al-Quran adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak.[14]
6.      Tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah:
a.       Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif bekerja
b.      Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagaia alat yang membantu manusia agar dapat hidup dengan baik
c.       Memperoleh lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk mencari penghidupan[15]
7.      Ibnu Khaldun menganjurkan agar pendidik menggunakan metode mengajar yang menyesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan peserta didik[16]
8.      Ibnu Khaldun menganjurkan agar ta’lim diberikan dengan metode al-qurb wa al-mulayanah yang diterjemahkan Franz Rosenthal menjadi kindly and gently. Ibnu Khaldun menolak metode kekerasan dan kekasaran[17]

C.  Persamaan Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali Dan Ibnu Khaldun
Dari pemaparan pemikiran-pemikiran pendidikan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun yang dipaparkan sebelumnya dapat diketahui persamaan pemikiran pendidikan keduanya, yakni:
1.      Pendidikan memegang peranan penting dalam Islam
2.      Keduanya memegang pendapat empirisme, bahwa manusia lebih dipengaruhi lingkungannya, keluarga maupun masyarakatnya, juga pendidikan.
3.      Pendidik harus mengajarkan sesuatu yang sesuai dengan peserta didik
4.      Yang pertama harus diajarkan pada peserta didik adalah Al-Qur’an

D.   PerbedaanPemikiran Pendidikan Al-Ghazali Dan Ibnu Khaldun
Dari pemaparan pemikiran-pemikiran pendidikan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun yang dipaparkan sebelumnya dapat diketahui perbedaan pemikiran pendidikan keduanya, yakni:
1.      Pemikiran Al-Ghazali lebih condong pada tasawuf, sementara Ibnu Khaldun lebih kepada sosiologis antropologis
2.      Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali fokus pada tujuan akhirat, sementara Ibnu Khaldun memperhitungkan aspek keduniaan selain aspek akhirat
3.      Pembagian ilmu bagi Al-Ghazali berdasarkan kemanfaatan dan



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemikiran pendidikan Al-Ghazali meliputi pentingnya pendidikan, tujuan pendidikan, pendidik dan peserta didik, pembagian ilmu pengetahuan, dan pelajaran yang dianjurkan
Pemikiran pendidikan Ibnu Khaldun meliputi pandangan tentang pendidik dan peserta didik, pembagian ilmu, tujuan pendidikan, metode pendidikan, pelajaran yang dianjurkan.
Persamaan pemikiran keduanya tentang pentingnya pendidikan, empirisme, kesesuaian dengan peserta didik, Al-Qura’an yang pertama kali diajarkan.
Perbedaan pemikiran keduanya dalam hal corak, tujuan, dan pembagian ilmu.



DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis. Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers. 2002
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2013



[1] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal: 87
[2] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hal: 161-162
[3] Ibid, hal: 162
[4] Ibid, hal: 163-164.
[5] Samsul Nizar, Op.Cit, hal:88
[6] Ibid, hal: 89
[7] Abudin Nata, Op.Cit, hal: 166-167
[8] Ibid, hal: 167
[9] Ibid, hal: 174
[10] Ibid, hal: 175
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hal: 240
[14] Abudin Nata, Op.Cit, hal 175-176
[15] Toto Suharto, Op.Cit, hal:  241
[16] Ibid, hal: 242
[17] Ibid, hal: 245

Makalah INKARUS SUNNAH

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Inkar al- Sunnah
1.      Arti menurut bahasa
Kata “Inkar al-sunnah” terdiri dari dua kata yaitu “inkar” dan “Sunnah”. Kata “inkar” secara etimologis  diartikan menolak, tidak mengetahui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin yang dilatar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau fakor lain. Dan “Sunnah” adalah hadits-hadits Rosulullah SAW.
2.      Arti menurut istilah
a.              Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadis atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-qur’an.
b.             Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum Islam dari sunnah shohih baik sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totalitas mutawatir maupun ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasan yang dapat diterima (Khon, 2009: 29).
Inkar al-Sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rosul, baik sebagian maupun keseluruhannya.

B.  Sejarah Perkembangan Inkar al- Sunnah
Pada zaman Nabi, tidak ada seorangpun dari kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Demikian pula pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M) dan Bani Umayah (661-750 M), belum nampak jelas adanya kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Barulah pada awal masa Abbasiyah (750-1258M), muncul secara jelas sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam (Ismail, 1994: 14).
Sejarah perkembangan Inkar Sunnah terbagi dalam 2 masa yaitu masa klasik dan modern.
1.      Inkar al Sunnah Klasik
Inkar sunnah klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i (w. 204H) yang menolak kehujahan sunnah dan menolak sunnah sebagai sumber hukum Islam baik mutawatir maupun Ahad (Khon, 2009: 29). Mereka itu kemudian dikenal sebagai orang-orang yang berpaham inkar al-sunnah atau munkir al-sunnah (Ismail, 1994: 14). Inkar sunnah klasik lahir di Irak  (kurang lebih abad 2H/7M). Muncul akibat ketidaktahuannya tentang kedudukan sunnah dalam syari’ah Islam.
Secara garis besar, Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada 3 kelompok pengingkar sunnah yang berhadapan dengan  As-Syafi’i, yaitu sebagai berikut:
a.       Menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Alqur’an saja yang dapat dijadikan hujjah.
b.      Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Al Qur’an.
c.       Hanya menerima sunnah mutawatir saja dan menolak selain mutawatir yakni sunnah ahad (Khon, 2009: 32).
Menjelang akhir abad kedua Hijriah muncul kelompok yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber syariat Islam, disamping ada pula yang menolak sunnah yang bukan mutawatir saja (Solahudin, 2009: 210).
a.         Khawarij dan Sunnah
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak (Rozak, 2001: 49). Sementara khawarij yang dimaksud di sini adalah golongan yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abu Thalib.
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum kejadian fitnah (perang saudara antara Ali bin Abu Thalib r.a. dan Muawiyah r.a.) diterima oleh kelompok Khawarij dengan alasan bahwa sebelum kejadian itu para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil. Namun setelah kejadian fitnah tersebut, kelompok Khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi SAW sudah keluar dari Islam. Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat  sesudah kejadian itu ditolak kelompok khawarij (Solahudin, 2009: 210).
Namun ada juga kelompok dari golongan Khawarij yang menerima hadis Nabawi. Mereka adalah kelompok Ibadiyah.
b.         Syi’ah dan Sunnah
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok (Rozak, 2001: 89). Secara terminologis, Syi’ah merupakan sebagian kaum muslim yang menganggap Ali bin Abu Thalib lebih pantas menjadi Khalifah daripada Khalifah-khalifah sebelumnya dan mereka selalu merujuk pada ahl al-bait.
Golongan Syi’ah menganggap bahwa sepeninggal Nabi SAW, mayoritas para sahabat sudah murtad kecuali beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap Muslim. Karena itu, golongan Syi’ah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tersebut. Syi’ah hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahl- Al Bait saja (Solahudin, 2009: 212).
c.         Mu’tazilah dan Sunnah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri (Rozak, 2001: 89). Mereka memisahkan diri dari mayoritas umat Islam.
Syeikh Muhammad Al-Khudhari berpendapat bahwa Mu’tazilah menolak sunah. Pendapat ini berdasarkan adanya diskusi antara Imam Asy-Syafi’i dan kelompok yang mengingkari sunah. Sementara kelompok atau aliran yang ada pada waktu itu di Bashrah Irak adalah Mu’tazilah (Solahudin, 2009: 213).
Ada sebagian ulama Mu’tazilah yang menolak sunnah yaitu: Abu Ishaq Ibrahim bin Sajyar (Al Nadhdham). Ia mengingkari kemukjizatan al Qur’an dari segi kebahasaannya, mukjizat Nabi SAW, mengingkari Hadis yang tidak dapat memberikan pengertian yang pasti untuk dijadikan sumber syari’at Islam.
Namun mayoritas ulama Mu’tazilah seperti Abu Al-Hudzail Al-‘Allaf dan Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab Al Jubba’i justru menilai An-Nadhdham telah keluar dari Islam.
2.      Inkar al Sunnah Modern
Setelah sempat teredam beberapa abad, lahir inkar al- sunnah di India (kurang lebih abad 19 M / 13 H). Kemudian muncul ingkar sunnah di Kairo, Mesir (abad 20 M/ 14 H). Munculnya inkar al- sunnah akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam.
Apabila inkar al-sunnah klasik masih banyak bersifat perorangan dan tidak menanamkan dirinya sebagai mujtahid atau pembaharu, inkar al- sunnah modern banyak yang mengklaim dirinya sebagai  mujtahid dan pembaharu (Solahudin, 2009: 215).
Di India, tokoh-tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan, Ciragh Ali, Maulevi Abdullah Jakralevi, Ahmad Ad-Din Amratserri, Aslam Cirachburri, Ghulam Ahmad Parwez dan Abdul Khaliq (Khon, 2009: 29). Dari mereka ini kemudian muncul kelompok masing-masing.
Inkar al-Sunnah muncul di Mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh yang kemudian diikuti murid-muridnya. Sebagian besar dari mereka hanya menerima hadis mutawatir saja.
Di Indonesia sendiri, Inkar al- Sunnah muncul sekitar tahun 1980-an. Mereka menamakan pengajian yang mereka adakan dengan sebutan Kelompok Qur’ani (kelompok pengikut Al-Quran) (Jaiz, 2010: 29).

C.  Latar Belakang Munculnya Inkar al- Sunnah
Munculnya inkar al-sunnah dilatarbelakangi dari beberapa hal, diantaranya:
1.      Pemahaman yang tidak terlalu mendalam tentang hadis Nabi SAW dan kedangkalan mereka dalam memahami Islam.
2.      Kepemilikan pengetahuan yang kurang tentang bahasa arab, sejarah Islam, sejarah periwayatan, pembinaan hadits.
3.      Keraguan yang berhubungan dengan metodologi kodifikasi hadits.
4.      Keyakinan dan kepercayaan mereka yang mendalam kepada Al Qur’an sebagai kitab yang memuat segala perkara.
5.      Keinginan untuk memahami Islam secara langsung dari al Qur’an. (Hidayat,          http://othoy09.blogspot.com/2012/02/inkar-as-sunnah.html,
akses 14 Juni 2013).
D.  Argumentasi Inkar al -Sunnah
1.      Argumen-argumen naqli
a.         Agama bersifat konkret dan pasti

Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada suatu yang pasti. Apabila kita mengambil dan memakai Sunnah, berarti landasan agama itu tidak pasti. Al –Qur’an yang kita jadikan landasan itu bersifat pasti, seperti dalam ayat berikut (Solahudin, 2009: 215).
Alif laam Miim. Kitab ( A-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (Q.S. Al- Baqarah (2): 1-2).

Apabila agama Islam bersumber dari hadis, ia tidak akan memiliki kepastian. Sebab keberadaan hadis, khususnya hadis Ahad, bersifat dzanni. Dalam firman-Nya:
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti, kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu sedikit pun tidak berguna untuk mencapai kebenaran.(Q.S. Yunus(10): 36)
b.        Al Qur’an sudah lengkap
Mereka menggunakan dalil Al-Qur’an berikut ini:

Dan tidaklah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini (QS. Al An’am(6):38)
Al Qur’an turun sebagai penerang atas segala sesuatu secara sempurna. Al-Qur’an telah menjelaskan segala hal secara tuntas. Jadi tak perlu mengambil pegangan lain.
c.        
Al Qur’an tidak memerlukan penjelas

Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an ) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (Q.S. An- Nahl (16): 89)
Dan dialah yang telah menurunkan Al Kitab (Al Qur’an ) kepadamu dengan terperinci.(Q.S. Al-An’am (6) :144)
Ayat ini dipakai dalil oleh para pengingkar sunnah, baik dulu maupun kini. Mereka menganggap Al Qur’an sudah cukup karena memberikan penjelasan terhadap segala masalah. Mereka adalah yang menolak hadis secara keseluruhan seperti Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.
2.      Argumen-argumen Non Naqli
Argumen yang tidak berupa ayat Al-Qur’an dan atau hadis-hadis diantaranya:
a.       Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad (melalui malaikat Jibril) dalam bahasa Arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu memahami Al-Qur’an secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadis Nabi.
b.      Dalam sejarah, umat Islam mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena umat Islam terpecah-pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada hadis Nabi.
c.       Asal mula hadis Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis adalah dongeng-dongeng semata.
d.      Menurut dokter Tauqif Sidqi, tiada satupun hadis nabi yang dicatat pada zaman Nabi. Pencatatan hadis terjadi setelah Nabi wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadis sebagaimana yang telah terjadi (Ismail, 1994: 20-21).
Pokok pokok ajaran Inkar al-Sunnah:
1)      Tidak percaya kepada semua hadist Rosulullah saw. Menurut mereka hadis itu karangan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam.
2)      Dasar hukum Islam hanya Al Qur’an saja.
3)      Syahadat mereka: Isyhadu bi anna muslimun.
4)      Sholat mereka bermacam-macam, ada yang sholatya 2 rakaat – 2 rakaat dan ada yang hanya ketika ingat saja.
5)      Puasa wajib hanya bagi orang yang melihat bulan saja, kalau seseorang saja yang melihat bulan , maka dialah yang wajib berpuasa.
6)      Haji boleh dilakukan selama 4 bulan haram yaitu Muharram, Rajab, Zulqaidah dan Zulhijah,
7)      Pakaian ihram adalah pakaian arab dan membuat repot. Oleh karena itu, waktu megerjakan haji boleh memakai celana panjang dan baju biasa serta memakai jas/dasi.
8)      Rasul tetap diutus sampai hari kiamat.
9)      Nabi Muhammad tidak berhak menjelaskan tentang ajaran Al Qur’an .
10)  Orang yang meninggal dunia tidak di sholatkan karena tidak ada perintah Al- Qur’an (Khon, 2009: 35).

E.  Kriteria Inkar al-Sunnah
1.     Mendahulukan ketetapan hukum berdasar nash yang zhahir, disertai keyakinan bahwa Sunnah tidak memiliki kekuatan hukum sedikit pun (Ashim, http://almanhaj.or.id/content/2744/slash/0/cacat-penganut-ideologi-ingkar-sunnah/, akses 1 Juni 2013).
2.      Menolak hadis Nabi, baik seluruhnya maupun sebagian
3.      Menyalahi faham mayoritas ulama dan umat
4.      Hanya mengambil dasar hukum dari Al-Quran saja
5.      Berbeda dalam cara pelaksanaan ibadah tertentu

F.   Upaya Mengantisipasi Inkar al- Sunnah
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi paham inkar as-sunnah diantaranya:
1.      Lebih mendalami ilmu agama agar tidak mudah terpengaruh aliran sesat.
2.      Memahami isi kandungan Al-Qur’an dan Hadits.
3.      Waspada terhadap pendapat-pendapat yang muncul, yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits.
4.      Meyakini bahwa sunnah dan hadits adalah sumber kedua hukum Islam.
5.      Menjauhi aliran-aliran yang menganggap bahwa sunnah dan hadits tidak benar (Winarno, http://wins3d.blogspot.com/2012/05/ingakrus-sunnah.html, akses 28 Mei 2013)
6.      Pihak berwajib melarang penyebaran paham inkar al-sunnah di wilayahnya.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Inkar al-sunnah adalah paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadis atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Sejarah kemunculan inkar al-sunnah dibagi dalam masa klasik (abad 2 H/ 7 M) di Irak dan masa modern (abad 19 M/ 13 H) yang bermula di India.
Latar belakang munculnya lebih disebabkan karena kurangnya pengetahuan, keraguan pada kodifikasi hadis, dan kecenderungan yang salah terhadap Al-Qur’an. Untuk memperkuat pahamnya, mereka menggunakan argumen naqli dan argumen non-naqli. Diantara argumen naqli-nya adalah bahwa Agama bersifat konkret dan pasti, Al-Qur’an sudah lengkap dan tidak memerlukan penjelas.
Kriteria yang paling menonjol dari ingkar sunnah adalah mendahulukan ketetapan hukum berdasar nash yang zhahir, disertai keyakinan bahwa Sunnah tidak memiliki kekuatan hukum sedikit pun. Namun demikian, berbagai upaya untuk mengantisipasi paham ini tetap dapat dilakukan.




DAFTAR PUSTAKA

Ashim. “Cacat Penganut Ideologi Ingkar Sunnah”. http://almanhaj.or.id/content/2744/slash/0/cacat-penganut-ideologi-ingkar-sunnah/, akses 1 Juni 2013.

Hidayat, Ahmad. “Inkar As Sunnah”.
          http://othoy09.blogspot.com/2012/02/inkar-as-sunnah.html.
          akses 14 Juni 2013.
Ismail, M.Syuhudi. 1994. Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press.
Jaiz, Hartono Ahmad. 2010. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul Hadits. Jakarta: Bumi Aksara.
Rozak, Abdul, Rosihan Anwar. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Sholahudin, M. Agus, Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.