Pages

Kamis, 03 Maret 2011

CERPEN



Cerita pendek atau yang sering disebut cerpen merupakan karangan pendek yang berbentuk naratif.
Cerpen mengisahkan sepenggal kehidupan manusia, yang penuh pertikaian, mengharukan atau menyenangkan, dsb. Cerpen yang menarik pasti mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan oleh pembacanya.
Ciri Cerpen:
1.  Cerpen memiliki alur tunggal, sehingga tidak boleh ada penyimpangan dalam alurnya.
2.  Cerpen memiliki satu tema
3.  Penggambaran watak tokoh dibuat secara sederhana
4.  Konflik yang terjadi tidak sampai mengubah nasib tokoh
Cerpen memiliki unsur intrinsik yang tidak berbeda dengan karya sastra pada umumnya. Unsur intrinsik karya sastra adalah:

a. Tema
Tema adalah gagasan utama yang menjalin struktur isi karangan.
Tema menyangkut segala persoalan dalam kehidupan manusia, seperti persahabatan, pendidikan, kasih sayang, kemanusiaan, dll.
b. Tokoh dan penokohan
Watak tokoh dapat dilukiskan dengan cara:
1. Analitik atau langsung: pengarang menyebut langsung watak tokoh dalam cerita.
2. Dramatik atau tidak langsung: pengarang mengungkapkan watak tokoh melalui jalan pikiran dan perasaan, cara berdandan, cara berbicara, tempat tinggal, ciri fisik, dan tanggapan atau reaksi tokoh lain.
Macam-macam tokoh:
1. Protagonis: tokoh yang memiliki karakter yang baik.
2. Antagonis: tokoh yang memiliki karakter tidak baik. Tokoh ini yang seringkali menimbulkan masalah bagi tokoh utama.
3. Tritagonis: tokoh yang menjadi penengah dan           cenderung berkarakter baik.
4.Tokoh utama: tokoh yang mendominasi cerita. Tokoh utama selalu ada mulai dari awal sampai akhir cerita.
5. Tokoh bawahan atau pembantu: tokoh yang keterlibatannya dalam cerita sedikit. Tokoh ini hanya sebagai pelengkap dalam cerita. Keberadaannya tidak berpengaruh pada alur.
c. Sudut pandang
Sudut pandang adalah kedudukan pengarang dalam cerita.
Macam-macam sudut pandang:
1. Orang pertama atau aku-an. Pengarang sebagai tokoh utama dalam cerita, sehingga tokoh utama disebut aku, saya. Cerita yang dikisahkan seolah-olah pengalaman sendiri.
2.Orang ketiga atau dia-an. Pengarang sebagai pencerita hanya mengisahkan pengalaman orang lain, sehingga tokoh utama disebut dengan dia, atau nama orang.
d. Alur/ plot
Alur adalah rangkaian peristiwa yang disusun secara berurutan sehingga membentuk cerita.
Macam-macam alur berdasarkan waktu:
a. alur maju: kejadian sekarang ke masa depan
b. alur mundur: kejadian dulu ke masa sekarang
c. alur campuran: gabungan alur maju dan mundur
Macam-macam alur berdasarkan hubungan antar tokoh utama (TU) dan tokoh tambahan (TT):
a. alur rapat: kejadian yang dialami TU dan TT berkaitan.
b. alur renggang: kejadian yang dialami TU dan TT berjalan sendiri-sendiri.

Tahapan alur:
1. pengenalan/eksposisi
2. penanjakan atau pemunculan masalah/konflik
3. klimaks atau puncak masalah
4. antiklimaks atau penurunan, masalah sedikit demi sedikit teratasi
5. peleraian atau penyelesaian (happy ending atau sad ending)
e. Latar/ setting
Latar/setting adalah gambaran tempat dan waktu serta suasana terjadinya cerita.
f. Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah model bahasa yang digunakan pengarang dalam menyampaikan cerita


g. Suasana
Suasana yang dimaksud di sini adalah suasana hati pengarang saat menulis cerita
h. Amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan penulis melalui cerita tersebut

Contoh Cerpen
Hadiah Terindah Untuk Ayah
Oleh: Zahra Zain
Rumah kontrakan ini masih sepi seperti biasanya. Tampak rapi dan bersih walau dengan perabotan seadanya. Rumah sederhana dengan 5 ruang ini ditinggali oleh seorang bapak dengan putrinya yang berusia 11 tahun.
            “Ibumu sekarang ada di tempat yang jauh. Mungkin suatu saat nanti kau akan bertemu dengannya”, begitulah jawab ayah setiap kali Rena, putrinya bertanya tentang sang ibu. Wajah ayah selalu menunjukkan kesedihan kala itu. Rena pun memilih untuk tidak bertanya banyak tentang ibunya. Toh hidup bersama ayah sudah membuatnya bahagia. Namun terkadang terbersit juga keinginan untuk melihat sosok ibunya, apalagi ketika melihat teman- teman di sekolahnya sedang bersama kedua orangtua mereka.
            Satu pesan ayah yang selalu Rena ingat. Ayah selalu berpesan agar Rena rajin belajar untuk meraih prestasi setinggi langit, berharap suatu saat bisa seperti ibu. Konon ibu adalah wanita yang sangat pandai. Sewaktu masih sekolah, banyak sekali perlombaan yang dimenangkannya. Beruntung sekali dulu ayah mendapat istri seperti ibu.
***
“Aku mau kasih apa ya buat ibu?”, celoteh salah seorang teman Rena di kelas.
Hari ini memang hari Senin. Hari baru setelah libur. Semangat baru akan hadir pada hari ini, namun tidak bagi Rena karena hari ini adalah hari ibu. Ingin rasanya ia lalui hari ini seperti anak- anak lain. Namun keinginginan tinggallah keinginan. Yang ada hanya harapan kosong. “Mungkin ini belum waktunya”, pikir Rena.
Pelajaran di sekolah berlangsung seperti biasa. Namun tetap saja ada pembahasan tentang hari ibu. Menyakitkan sekali bagi Rena. Jangankan memberi sesuatu, melihat wajah ibunya saja belum pernah. Lima menit sebelum pelajaran berakhir, wali kelas 5A membuka pembicaraan lain.
            “Dua minggu lagi akan ada olympiade matematika se-Jawa Tengah. Sekolah kita akan mewakilkan 2 orang untuk mengikuti olympiade itu. Jika dari kalian ada yang berminat boleh mendaftar ke saya agar bisa mengikuti seleksi dari sekolah yang akan dilaksanakan 4 hari lagi. Sekolah akan memilih 4 orang untuk dilatih khusus selama beberapa hari yang kemudian akan diseleksi lagi dan dipilih 2 orang untuk mewakili sekolah kita”, jelas wali kelas. “Rena, diharapkan kamu mendaftar juga ya?”, lanjutnya.
            “Iya, bu”, jawab Rena sopan.
            Semangat baru telah terlahir. Informasi dari wali kelas seakan membuka pintu harapan Rena. Ia pupuk lagi kepercayaan dirinya yang sempat hilang setelah kegagalannya dalam olympiade matematika tahun lalu. Pengalaman pertamanya mengikuti olympiade kala itu begitu membekas di hatinya. Begitu juga kegagalan yang ia dapatkan. Selama ini Rena menanti kesempatan kedua agar bisa menunjukkan ke ayah dan ke semua orang kalau ia bisa dan mampu. Ia juga berharap suatu saat akan bertemu ibunya dengan membawa keberhasilan.
            Empat hari menjadi waktu yang singkat bagi Rena karena hari- harinya diisi dengan belajar untuk mempersiapkan mengikuti seleksi yang diadakan sekolahan. Namun ia tetap tidak melupakan kewajiban- kewajiban lainnya.
            Di hari yang ditetukan ternyata peminat olympiade tidak terlalu banyak. Saingan Rena  ada 6 orang. Peluang cukup terbuka baginya walau belum pasti ia akan terpilih. Yang penting optimisme tinggi yang diimbangi dengan kemampuan. Itulah modal Rena saat ini.
            Seleksi tengah dilakukan. Soal demi soal dikerjakan Rena dengan sangat teliti. Langkah awal ini akan menentukan kedepannya. Kalau di seleksi ini gagal, pastilah tak ada harapan untuk maju ke olympiade.
            Satu jam kemudian hasil seleksi telah diumumkan. Ternyata Rena terpilih. Betapa bahagia hatinya. Satu langkah kini telah terlewati. Namun jalan masih panjang dan Rena harus terus melangkah ke depan. Itulah tekadnya.
            Berbagai prosesi dilewatinya. Pelajaran rela ia tinggalkan sementara waktu untuk fokus ke matematika. Walau berat namun Rena dan tiga temannya yang terpilih menjalaninya dengan senang hati. Ini semua mereka lakukan dengan tujuan yang sama, yaitu agar terpilih untuk mengikuti olympiade matematika mewakili sekolah mereka. Pepatah bilang, berakit- rakit ke hulu, berenang- renang ke tepian. Bersakit- sakit dahulu, bersenang- senang kemudian.
            Hari ketiga sebelum olympiade, dipilihlah 2 orang yang akan mewakili sekolah. Menanti pengumuman membuat Rena dag- dig- dug. Tidak sabar rasanya ingin tahu siapa saja yang terpilih berharap dirinya menjadi bagian orang- orang yang dipilih.
            “Keempat anakku yang saya banggakan, setelah beberapa hari ibu mengajar kalian secara khusus untuk mengikuti olympiade, bu guru mengamati ada dua orang dari kalian yang memang pantas untuk mengikuti olympiade matematika se- Jawa Tengah itu. Namun bagi yang belum mendapat kesempatan jangan berkecil hati karena masih ada kesempatan di hari lain. Jadi yang akan mewakili sekolah kita adalah Sarah dan Rena”, kalimat yang panjang dari guru pembimbing. Namun itulah kalimat yang mereka nanti.
            Tinggal selangkah lagi bagi Rena untuk mencapai apa yang diinginkan. Langkah terakhir ini adalah yang paling berat, namun Rena yakin kalau ia pasti bisa. Yang harus dilakukannya sekarang adalah belajar lagi di sisa waktu yang ada.
***
Sore yang indah di hari- hari yang indah. Sore itu Rena duduk di atas sebuah bangku rotan yang ada di teras rumah sambil melihat pemandangan di depan rumahnya di sela- sela kegiatan belajarnya. Tidak lama kemudian ayah kembali dari pekerjaannya sebagai kuli bangunan. Diciumnya tangan sang ayah. Ayah pun tersenyum untuk putri tercintanya ini sambil berusaha menyembunyikan wajah kelelahannya. Tanpa berkata, ayah duduk di kursi sebelah Rena.
            “Sepertinya kita harus pindah lagi”, kata ayah.
            “Kenapa, yah? Rena belum mau pindah. Perlombaan akan diadakan sebentar lagi”, Rena menolak.
            “Tapi kita harus pindah dalam waktu dekat ini”, ayah mendesak.
            “Tolong, yah. Penuhi keinginan Rena. Kita pindah setelah lomba ya?”, Rena memohon. Ayah tampak berpikir. Beliau mempertimbangkan ucapan putrinya itu.
            “Baiklah. Tiga hari setelah lomba kita pindah”, kata ayah.
            “Terimakasih, ayah”, kegembiraan tampak dari wajah Rena.
            Ayah masuk ke dalam rumah dengan meninggalkan senyum untuk putrinya. Namun dari wajahnya tampak sedang kebingungan. Rena sebenarnya menyadari hal itu, namun tak berani bertanya langsung berharap suatu saat ayah akan menjelaskan semua ini.
            Sebenarnya Rena kurang setuju dengan tindakan ayah yang sering pindah dari satu kota ke kota lain di pulau Jawa. Hal ini tentu mengganggu sekolahnya. Beruntung Rena cepat menyesuaikan diri. Kalau tidak, mungkin harapan tidak akan pernah terwujud.
            Besok adalah hari yang akan menentukan. Kalau kali ini Rena gagal berarti ini adalah kegagalan yang kedua. Namun tak ada kata menyerah dalam kamus kehidupan Rena. Kata menyerah hanya untuk orang- orang yang putus asa dan tidak punya daya juang. Dan itu bukan Rena namanya.
            Semua telah disiapkan dengan matang. Berbagai buku latihan soal dari perpustakaan sudah dicobanya. Berbagai rumus dan teori sudah dihafalnya di luar kepala. Tak lupa Rena selalu berdo’a agar yang diusahakannya ini membuahkan hasil yang tidak mengecewakan. Setiap usaha memang harus diimbangi dengan do’a. Itu sudah menjadi syarat utama. Usaha dan do’a.
            Sore berganti malam. Malam pun berganti pagi pertanda hari telah berganti. Hari yang dinanti itupun tiba. Berangkatlah Rena bersama satu temannya dengan didampingi guru ke tempat olympiade. Minder juga Rena ketika sampai di sana karena melihat pesaingnya tampak sangat pandai. Apalagi mereka dari sekolah- sekolah di kota, bukan dari sekolah pinggiran seperti Rena. Dikerjakannya soal- soal olympiade dengan teliti. Sebisa mungkin ia tenangkan pikirannya agar bisa mengerjakan dengan baik. Satu demi satu soal- soal itu dikerjakan. Ada..... saja soal yang memerlukan berfikir extra keras.
            Seusai mengerjakan, peserta dipersilahkan berkumpul untuk mendengarkan pembicara memberikan beberapa wejangan. Dua jam kemudian hasil sudah bisa dilihat. Entah apa yang digunakan sehingga mengoreksi pekerjaan ratusan peserta bisa dilakukan secepat itu. Pengumuman akhirnya dibacakan juga.
***
Betapa bahagia hati Rena membayangkan ayah yang tersenyum bangga atas kemenangannya dalam olympiade ini. Akhirnya Rena bisa mewujudkan harapan ayah, harapan yang sudah lama tidak terwujud. Juara 2 telah disabetnya.
            Perjalanan pulang ke rumah terasa sangat panjang. Tak sabar rasanya ingin segera menunjukkan piala ini ke ayah dan menceritakan semuanya. Namun betapa terkejut Rena setibanya di gerbang rumah. Dua mobil pilisi terparkir di depan. Tiga polisi berseragam lengkap berdiri di sana. Tidak lama kemudian tiga polisi lain keluar dari rumah Rena sambil membawa seseorang dengan borgol di tangannya. Sosok tubuh lelaki 35 tahun berbadan tinggi besar. Seseorang yang sangat Rena kenal. Seseorang yang sangat ia sayang. Ayah.......
            Kaki Rena seakan tak kuat lagi menahan tubuhnya. Bibirnya tak mampu lagi berucap. Hanya ada air mata yang mengalir deras di pipinya. Hatinya seolah hancur berkeping- keping melihat kenyataan yang ada di depannya. Peristiwa ini dilihat dengan mata kepala yang tak mungkin salah walau mata hati mengingkari.
            Seorang polisi mendekati Rena dan menunjukkan surat penangkapan. Dengan tenaga yang ada untuk menggerakkan tangannya, diterimanya surat itu.
            “Saudara Wisnu adalah pelaku pembunuhan yang sudah kami buru sejak 3 tahun lalu. Dia telah membunuh istrinya sendiri”, kata polisi tadi.
            Pembunuh?? Istrinya sendiri? Hatinya seolah tak percaya. Seorang yang dikenalnya sebagai seorang ayah yang sangat baik, yang sangat menyayangi keluarga ternyata seorang pembunuh. Pembunuh ibu Rena. Perbuatan biadab itu adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri lagi.
 Kini ia tahu mengapa ayah tidak mau bercerita banyak tentang ibu. Setiap kali bercerita pun wajah ayah tampak sedih seakan menyesali sesuatu. Dan kini ia juga tahu mengapa tiap tahun ia harus mengikuti ayahnya pindah rumah dari satu kota ke kota lain. Ternyata ayah menghindari kejaran polisi.
Sirna pula harapan Rena untuk bertemu ibu di masa hidupnya. Ayah telah berbohong. Ayah membohongi Rena. Sakit sekali hati Rena karena ayah membohonginya. Sakit yang lebih dalam daripada kekecewaannya setelah mengetahui siapa ayah sebenarnya. Ayah selalu menasehati Rena banyak hal. Termasuk agar Rena menjadi anak yang baik, tidak pernah berbohong. Namun kenyataannya justru ayah membohongi anaknya sendiri. Kebohongan yang membuat Rena memiliki harapan kosong.
            Dengan langkah gontai Rena mendekati ayahnya yang akan dimasukkan ke dalam mobil polisi. Sejadi- jadinya ia menangis di dekapan sang ayah.
            “Ayah, Rena bisa seperti yang ayah inginkan. Lihat ini, yah”, kata Rena sambil menunjukkan piala yang ada di tangannya. Dilihatnya mata ayah berkaca- kaca menahan tangis. Baru kali ini Rena melihat ayahnya menahan air mata.
            “Maafkan ayah, nak”. Itulah kalimat terakhir yang ayah ucapkan sebelum masuk ke mobil polisi.
            Seburuk apapun ayah, ayah tetaplah ayah yang terbaik untuk Rena. Apapun alasan ayah membunuh ibu, Rena berusaha untuk bisa menerima walau sebanarnya hal itu sangat disesalkannya. Di usianya sekarang ini, Rena harus bisa menghadapi kehidupan yang amat pahit. Terkadang kehidupan memang tak seperti apa yang diharapkan. Namun itulah hidup.
            Mungkin piala kemenangan ini adalah hadiah terindah yang bisa Rena berikan untuk ayah. Dalam hati Rena bertekad untuk terus belajar meraih prestasi setinggi langit untuk mewujudkan harapannya dan harapan ayah. Ayah yang sangat dihormati atas segala kekurangannya.

0 komentar:

Posting Komentar