BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Inkar
al- Sunnah
1.
Arti menurut bahasa
Kata “Inkar al-sunnah” terdiri dari dua kata yaitu “inkar” dan
“Sunnah”. Kata “inkar” secara etimologis
diartikan menolak, tidak mengetahui, dan tidak menerima sesuatu, baik
lahir dan batin yang dilatar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau fakor
lain. Dan “Sunnah” adalah hadits-hadits Rosulullah SAW.
2.
Arti menurut istilah
a.
Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang
menolak hadis atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-qur’an.
b.
Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas
umat Islam yang menolak dasar hukum Islam dari sunnah shohih baik sunnah
praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara
totalitas mutawatir maupun ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasan yang dapat
diterima (Khon, 2009: 29).
Inkar al-Sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap
sunnah Rosul, baik sebagian maupun keseluruhannya.
B.
Sejarah Perkembangan Inkar al- Sunnah
Pada zaman Nabi, tidak ada seorangpun dari kalangan umat Islam yang
menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Demikian pula pada masa
Khulafaur Rasyidin (632-661 M) dan Bani Umayah (661-750 M), belum nampak jelas
adanya kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran
Islam.
Barulah pada awal masa Abbasiyah (750-1258M), muncul secara
jelas sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber
ajaran Islam (Ismail, 1994: 14).
Sejarah perkembangan Inkar Sunnah terbagi dalam 2 masa yaitu masa
klasik dan modern.
1.
Inkar al Sunnah Klasik
Inkar
sunnah klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i (w. 204H) yang menolak
kehujahan sunnah dan menolak sunnah sebagai sumber hukum Islam baik mutawatir
maupun Ahad (Khon, 2009: 29). Mereka itu kemudian dikenal sebagai orang-orang
yang berpaham inkar al-sunnah atau munkir al-sunnah (Ismail, 1994: 14). Inkar sunnah klasik lahir di
Irak (kurang lebih abad 2H/7M). Muncul
akibat ketidaktahuannya tentang kedudukan sunnah dalam syari’ah Islam.
Secara
garis besar, Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada 3 kelompok pengingkar
sunnah yang berhadapan dengan As-Syafi’i,
yaitu sebagai berikut:
a.
Menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini
hanya mengakui Alqur’an saja yang dapat dijadikan hujjah.
b.
Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan
Al Qur’an.
c.
Hanya menerima sunnah mutawatir saja dan menolak
selain mutawatir yakni sunnah ahad (Khon, 2009: 32).
Menjelang
akhir abad kedua Hijriah muncul kelompok yang menolak sunnah sebagai salah satu
sumber syariat Islam, disamping ada pula yang menolak sunnah yang bukan
mutawatir saja (Solahudin, 2009: 210).
a.
Khawarij dan Sunnah
Secara etimologis kata khawarij berasal
dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul,
atau memberontak (Rozak, 2001: 49). Sementara khawarij yang dimaksud di sini adalah
golongan yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abu Thalib.
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat
sebelum kejadian fitnah (perang saudara antara Ali bin Abu Thalib r.a. dan
Muawiyah r.a.) diterima oleh kelompok Khawarij dengan alasan bahwa sebelum
kejadian itu para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil. Namun setelah kejadian fitnah tersebut, kelompok Khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi
SAW sudah keluar dari Islam. Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para
sahabat sesudah kejadian itu ditolak
kelompok khawarij (Solahudin,
2009: 210).
Namun ada juga kelompok dari golongan Khawarij yang menerima hadis
Nabawi. Mereka adalah kelompok Ibadiyah.
b.
Syi’ah dan Sunnah
Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut,
pendukung, partai, atau kelompok (Rozak, 2001: 89). Secara terminologis,
Syi’ah merupakan sebagian kaum muslim yang menganggap Ali bin Abu Thalib lebih
pantas menjadi Khalifah daripada Khalifah-khalifah sebelumnya dan mereka selalu
merujuk pada ahl al-bait.
Golongan Syi’ah menganggap bahwa sepeninggal Nabi
SAW, mayoritas para sahabat sudah murtad kecuali beberapa orang saja yang
menurut mereka masih tetap Muslim. Karena itu, golongan Syi’ah menolak hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tersebut. Syi’ah hanya menerima
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahl- Al Bait saja (Solahudin, 2009: 212).
c.
Mu’tazilah dan Sunnah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal
dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri (Rozak, 2001:
89). Mereka memisahkan diri dari mayoritas umat Islam.
Syeikh Muhammad Al-Khudhari berpendapat bahwa
Mu’tazilah menolak sunah. Pendapat ini berdasarkan adanya diskusi antara Imam
Asy-Syafi’i dan kelompok yang mengingkari sunah. Sementara kelompok atau aliran
yang ada pada waktu itu di Bashrah Irak adalah Mu’tazilah (Solahudin, 2009: 213).
Ada sebagian ulama Mu’tazilah yang menolak sunnah
yaitu: Abu Ishaq Ibrahim bin Sajyar (Al Nadhdham). Ia mengingkari kemukjizatan
al Qur’an dari segi kebahasaannya, mukjizat Nabi SAW, mengingkari Hadis yang
tidak dapat memberikan pengertian yang pasti untuk dijadikan sumber syari’at Islam.
Namun mayoritas ulama Mu’tazilah seperti Abu
Al-Hudzail Al-‘Allaf dan Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab Al Jubba’i justru menilai
An-Nadhdham telah keluar dari Islam.
2.
Inkar al Sunnah Modern
Setelah sempat teredam beberapa abad, lahir inkar
al- sunnah di India (kurang lebih abad 19 M / 13 H). Kemudian muncul ingkar
sunnah di Kairo, Mesir (abad 20 M/ 14 H). Munculnya inkar al- sunnah akibat
pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam.
Apabila inkar al-sunnah klasik masih banyak
bersifat perorangan dan tidak menanamkan dirinya sebagai mujtahid atau
pembaharu, inkar al- sunnah modern banyak yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid dan pembaharu (Solahudin, 2009: 215).
Di India, tokoh-tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan,
Ciragh Ali, Maulevi Abdullah Jakralevi, Ahmad Ad-Din Amratserri, Aslam
Cirachburri, Ghulam Ahmad Parwez dan Abdul Khaliq (Khon, 2009: 29). Dari mereka
ini kemudian muncul kelompok masing-masing.
Inkar al-Sunnah muncul di Mesir pada masa Syeikh
Muhammad Abduh yang kemudian diikuti murid-muridnya. Sebagian besar dari mereka
hanya menerima hadis mutawatir saja.
Di Indonesia sendiri, Inkar al- Sunnah muncul
sekitar tahun 1980-an. Mereka menamakan pengajian yang mereka adakan dengan
sebutan Kelompok Qur’ani (kelompok pengikut Al-Quran) (Jaiz, 2010: 29).
C.
Latar Belakang Munculnya Inkar al- Sunnah
Munculnya inkar al-sunnah dilatarbelakangi dari beberapa hal,
diantaranya:
1.
Pemahaman yang tidak terlalu mendalam tentang
hadis Nabi SAW dan kedangkalan mereka
dalam memahami Islam.
2.
Kepemilikan pengetahuan yang kurang tentang
bahasa arab, sejarah Islam, sejarah periwayatan, pembinaan hadits.
3.
Keraguan yang berhubungan dengan metodologi
kodifikasi hadits.
4.
Keyakinan dan kepercayaan mereka yang mendalam
kepada Al Qur’an sebagai kitab yang memuat segala perkara.
5.
Keinginan untuk memahami Islam secara langsung
dari al Qur’an. (Hidayat, http://othoy09.blogspot.com/2012/02/inkar-as-sunnah.html,
akses 14 Juni 2013).
akses 14 Juni 2013).
D. Argumentasi Inkar al -Sunnah
1.
Argumen-argumen naqli
a.
Agama bersifat konkret dan pasti
Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada suatu yang pasti. Apabila kita mengambil dan memakai Sunnah, berarti landasan agama itu tidak pasti. Al –Qur’an yang kita jadikan landasan itu bersifat pasti, seperti dalam ayat berikut (Solahudin, 2009: 215).
Alif laam Miim. Kitab ( A-Qur’an) ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (Q.S. Al- Baqarah (2): 1-2).
Apabila agama Islam bersumber dari hadis, ia tidak akan memiliki kepastian. Sebab keberadaan hadis, khususnya hadis Ahad, bersifat dzanni. Dalam firman-Nya:
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti, kecuali
persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu sedikit pun tidak berguna untuk
mencapai kebenaran.(Q.S. Yunus(10): 36)
b.
Al Qur’an sudah lengkap
Mereka menggunakan dalil Al-Qur’an berikut ini:
Dan tidaklah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini (QS. Al An’am(6):38)
Al Qur’an turun sebagai
penerang atas segala sesuatu secara sempurna. Al-Qur’an telah menjelaskan
segala hal secara tuntas. Jadi tak perlu mengambil pegangan lain.
c.
Al Qur’an tidak memerlukan penjelas
Al Qur’an tidak memerlukan penjelas
Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an ) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (Q.S. An- Nahl (16): 89)
Dan dialah yang telah menurunkan Al Kitab (Al Qur’an
) kepadamu dengan terperinci.(Q.S. Al-An’am (6) :144)
Ayat ini dipakai dalil oleh para pengingkar
sunnah, baik dulu maupun kini. Mereka menganggap Al Qur’an sudah cukup karena
memberikan penjelasan terhadap segala masalah. Mereka adalah yang menolak hadis
secara keseluruhan seperti Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.
2.
Argumen-argumen Non Naqli
Argumen yang tidak berupa ayat
Al-Qur’an dan atau hadis-hadis diantaranya:
a.
Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad
(melalui malaikat Jibril) dalam bahasa Arab. Orang-orang yang memiliki
pengetahuan bahasa Arab mampu memahami Al-Qur’an secara langsung, tanpa bantuan
penjelasan dari hadis Nabi.
b.
Dalam sejarah, umat Islam mengalami kemunduran.
Umat Islam mundur karena umat Islam terpecah-pecah. Perpecahan itu terjadi
karena umat Islam berpegang kepada hadis Nabi.
c.
Asal mula hadis Nabi yang dihimpun dalam
kitab-kitab hadis adalah dongeng-dongeng semata.
d.
Menurut dokter Tauqif Sidqi, tiada satupun hadis
nabi yang dicatat pada zaman Nabi. Pencatatan hadis terjadi setelah Nabi wafat.
Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia berpeluang untuk mempermainkan
dan merusak hadis sebagaimana yang telah terjadi (Ismail, 1994: 20-21).
Pokok pokok ajaran Inkar al-Sunnah:
1)
Tidak percaya kepada semua hadist Rosulullah saw.
Menurut mereka hadis itu karangan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam.
2)
Dasar hukum Islam hanya Al Qur’an saja.
3)
Syahadat mereka: Isyhadu bi anna muslimun.
4)
Sholat mereka bermacam-macam, ada yang sholatya 2
rakaat – 2 rakaat dan ada yang hanya ketika ingat saja.
5)
Puasa wajib hanya bagi orang yang melihat bulan
saja, kalau seseorang saja yang melihat bulan , maka dialah yang wajib
berpuasa.
6)
Haji boleh dilakukan selama 4 bulan haram yaitu
Muharram, Rajab, Zulqaidah dan Zulhijah,
7)
Pakaian ihram adalah pakaian arab dan membuat
repot. Oleh karena itu, waktu megerjakan haji boleh memakai celana panjang dan
baju biasa serta memakai jas/dasi.
8)
Rasul tetap diutus sampai hari kiamat.
9)
Nabi Muhammad tidak berhak menjelaskan tentang
ajaran Al Qur’an .
10) Orang yang meninggal dunia
tidak di sholatkan karena tidak ada perintah Al- Qur’an (Khon, 2009: 35).
E. Kriteria Inkar al-Sunnah
1.
Mendahulukan
ketetapan hukum berdasar nash yang zhahir, disertai keyakinan bahwa Sunnah tidak
memiliki kekuatan hukum sedikit pun (Ashim, http://almanhaj.or.id/content/2744/slash/0/cacat-penganut-ideologi-ingkar-sunnah/, akses 1 Juni 2013).
2.
Menolak hadis Nabi, baik seluruhnya maupun
sebagian
3.
Menyalahi faham mayoritas ulama dan umat
4.
Hanya mengambil dasar hukum dari Al-Quran saja
5.
Berbeda dalam cara pelaksanaan ibadah tertentu
F.
Upaya Mengantisipasi Inkar al- Sunnah
Beberapa upaya yang dapat
dilakukan untuk mengantisipasi paham inkar as-sunnah diantaranya:
1.
Lebih mendalami
ilmu agama agar tidak mudah terpengaruh aliran sesat.
2.
Memahami isi
kandungan Al-Qur’an dan Hadits.
3.
Waspada
terhadap pendapat-pendapat yang muncul, yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan
Hadits.
4.
Meyakini bahwa
sunnah dan hadits adalah sumber kedua hukum Islam.
5.
Menjauhi
aliran-aliran yang menganggap bahwa sunnah dan hadits tidak benar (Winarno, http://wins3d.blogspot.com/2012/05/ingakrus-sunnah.html, akses 28 Mei
2013)
6.
Pihak berwajib melarang penyebaran paham inkar al-sunnah
di wilayahnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Inkar al-sunnah adalah paham yang timbul dalam
masyarakat Islam yang menolak hadis atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam
kedua setelah Al-Qur’an. Sejarah kemunculan inkar al-sunnah dibagi dalam masa
klasik (abad 2 H/ 7 M) di Irak dan masa modern (abad 19 M/ 13 H) yang bermula
di India.
Latar belakang munculnya lebih disebabkan karena
kurangnya pengetahuan, keraguan pada kodifikasi hadis, dan kecenderungan yang
salah terhadap Al-Qur’an. Untuk memperkuat pahamnya, mereka menggunakan argumen
naqli dan argumen non-naqli. Diantara argumen naqli-nya adalah bahwa Agama bersifat
konkret dan pasti, Al-Qur’an sudah lengkap dan tidak memerlukan penjelas.
Kriteria yang paling menonjol dari ingkar sunnah
adalah mendahulukan ketetapan hukum berdasar nash
yang zhahir, disertai keyakinan bahwa Sunnah tidak memiliki kekuatan hukum sedikit
pun. Namun demikian, berbagai upaya
untuk mengantisipasi paham ini tetap dapat dilakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ashim. “Cacat Penganut Ideologi Ingkar
Sunnah”. http://almanhaj.or.id/content/2744/slash/0/cacat-penganut-ideologi-ingkar-sunnah/, akses 1 Juni 2013.
Hidayat, Ahmad. “Inkar As Sunnah”.
Ismail, M.Syuhudi. 1994. Hadits Nabi Menurut Pembela,
Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press.
Jaiz, Hartono Ahmad.
2010. Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Khon, Abdul Majid. 2010. Ulumul Hadits.
Jakarta: Bumi Aksara.
Rozak, Abdul, Rosihan
Anwar. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Sholahudin, M. Agus, Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits.
Bandung: Pustaka Setia.
Winarno. “Ingakrus Sunnah”. http://wins3d.blogspot.com/2012/05/ingakrus-sunnah.html.
akses 28 Mei 2013.
1 komentar:
Memang fakta di masyarakat banyak terjadi perpecahan akibat terlalu rumit membahas hadits, terlihat sangat mempersulit praktek ibadah, terlalu banyak aturan yang menyebabkan perdebatan yang meresahkan.
Posting Komentar