BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Beberapa
pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan diantaranya adalah:
1.
Transinternalisasi
ilmu dan proses pendidikan merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran
Islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ilallah.[1]
2.
Ia
lebih memegang paham empirisme[2],
bahwa seorang anak lebih ditentukan oleh lingkungannya. Hal ini sesuai hadis
Rasulullah yang artinya:
Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menyebabkan
anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Yahudi (HR. Muslim).
Hadis ini
menekankan pada peran orang tua dalam pendidikan anak. Lingkungan selanjutnya
setelah lingkungan keluarga juga lingkungan pendidikan dan lingkungan
pergaulan. Jika anak diajarkan dan dibiasakan melakukan hal baik, maka ia akan
melakukan hal-hal baik, begitupula sebaliknya. Di sinilah pentingnya
pendidikan.
3.
Tujuan
pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. [3]
Hal ini sesuai firman Allah dalam surat Adz Dzariyat ayat 56.
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.
4.
Menurut
Al-Ghazali, pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan,
menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Ia
juga menjelaskan ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan, yakni:
a.
Guru
harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri
b.
Guru
jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya
(mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad
Saw., sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang
mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
c.
Guru
harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk
kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri
kepada Allah.
d.
Guru
harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang
membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat
e.
Di
hadapan muridnya, guru harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa
halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya
f.
Guru
harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya
tangkap anak didiknya
g.
Guru
harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak
didiknya
h.
Guru
harus memahami minat, bakat, dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak
akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik
antara guru dengan anak didiknya
i.
Guru
harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal
pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu[4]
5.
Al-Ghazali
menjelaskan bahwa peserta didik adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau
fitrah untuk beriman kepada Allah.[5]
Sehingga disini berarti tugas guru adalah mengarahkan agar potensi ini
disalurkan dengan tepat, yakni keimanan kepada Allah Swt.
Menurut
Al-Ghazali dalam menuntut ilmu, peserta didik memiliki tugas dan kewajiban yaitu:
mendahulukan kesucian jiwa, bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan,
jangan menyombongkan ilmunya dan menentang guru, mengetahui kedudukan ilmu
pengetahuan[6].
6.
Al-Ghazali
membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok, yakni ilmu yang tercela, ilmu
yang terpuji, dan ilmu yang terpuji pada taraf tertentu. Sementara dari segi
kepentingannya, Al-Ghazali membagi ilmu menjadi 2, yakni ilmu yang wajib/fardhu
(ilmu agama, ilmu yang bersumber dari kitabullah) dan ilmu yang fardhu kifayah
(seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian, dll).[7]
7.
Al-Ghazali
mengusulkan beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah ,yaitu:
a.
Ilmu
Al-Quran dan ilmu agama seperti fiqih, hadis, dan tafsir
b.
Sekumpulan
bahasa, nahwu dan makhraj serta lafadz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi
membantu ilmu agama
c.
Ilmu-ilmu
yang fardhu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknoogi yang beraneka
macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik
d.
Ilmu
kebudayaan, seperti syair, sejarah, dan beberapa cabang filsafat.[8]
B.
Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan
Beberapa
konsep pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan adalah:
1.
Ibnu
Khaldun lebih melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok
yang ada di masyarakat[9]
2.
Dalam
mencapai pengetahuan yang bermacam-macam, seseorang tidak hanya membutuhkan
ketekunan, tetapi juga bakat[10]
3.
Pertumbuhan
pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban[11]
4.
Perbedaan
lapisan sosial timbul dari hasil kecerdasannya yang diproses melalui pengajaran[12]
5.
Ibnu
Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi al ‘ulum al-‘aqliyah dan al-‘ulum al-naqliyah[13].
Yang harus diajarkan pada anak didik adalah ilmu syari’ah, ilmu filsafat, ilmu
alat yang membantu ilmu agama, dan ilmu alat yang membantu ilmu falsafah. Al-Quran
adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak.[14]
6.
Tujuan
pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah:
a.
Memberikan
kesempatan kepada pikiran untuk aktif bekerja
b.
Memperoleh
berbagai ilmu pengetahuan sebagaia alat yang membantu manusia agar dapat hidup
dengan baik
c.
Memperoleh
lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk mencari penghidupan[15]
7.
Ibnu
Khaldun menganjurkan agar pendidik menggunakan metode mengajar yang
menyesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan peserta didik[16]
8.
Ibnu
Khaldun menganjurkan agar ta’lim diberikan dengan metode al-qurb wa
al-mulayanah yang diterjemahkan Franz Rosenthal menjadi kindly and
gently. Ibnu Khaldun menolak metode kekerasan dan kekasaran[17]
C.
Persamaan Pemikiran Pendidikan Al-Ghazali Dan Ibnu Khaldun
Dari
pemaparan pemikiran-pemikiran pendidikan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun yang
dipaparkan sebelumnya dapat diketahui persamaan pemikiran pendidikan keduanya,
yakni:
1.
Pendidikan
memegang peranan penting dalam Islam
2.
Keduanya
memegang pendapat empirisme, bahwa manusia lebih dipengaruhi lingkungannya,
keluarga maupun masyarakatnya, juga pendidikan.
3.
Pendidik
harus mengajarkan sesuatu yang sesuai dengan peserta didik
4.
Yang
pertama harus diajarkan pada peserta didik adalah Al-Qur’an
D.
PerbedaanPemikiran
Pendidikan Al-Ghazali Dan Ibnu Khaldun
Dari
pemaparan pemikiran-pemikiran pendidikan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun yang
dipaparkan sebelumnya dapat diketahui perbedaan pemikiran pendidikan keduanya,
yakni:
1.
Pemikiran
Al-Ghazali lebih condong pada tasawuf, sementara Ibnu Khaldun lebih kepada
sosiologis antropologis
2.
Tujuan
pendidikan menurut Al-Ghazali fokus pada tujuan akhirat, sementara Ibnu Khaldun
memperhitungkan aspek keduniaan selain aspek akhirat
3.
Pembagian
ilmu bagi Al-Ghazali berdasarkan kemanfaatan dan
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemikiran pendidikan Al-Ghazali meliputi pentingnya pendidikan,
tujuan pendidikan, pendidik dan peserta didik, pembagian ilmu pengetahuan, dan
pelajaran yang dianjurkan
Pemikiran pendidikan Ibnu Khaldun meliputi pandangan tentang
pendidik dan peserta didik, pembagian ilmu, tujuan pendidikan, metode
pendidikan, pelajaran yang dianjurkan.
Persamaan pemikiran keduanya tentang pentingnya pendidikan,
empirisme, kesesuaian dengan peserta didik, Al-Qura’an yang pertama kali
diajarkan.
Perbedaan pemikiran keduanya dalam hal corak, tujuan, dan pembagian
ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Nata,
Abudin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997
Nizar,
Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis. Teoritis dan Praktis.
Jakarta: Ciputat Pers. 2002
Suharto,
Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2013
[1] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal: 87
[2] Abudin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hal:
161-162
[3] Ibid,
hal: 162
[4] Ibid,
hal: 163-164.
[5] Samsul
Nizar, Op.Cit, hal:88
[6] Ibid,
hal: 89
[7] Abudin
Nata, Op.Cit, hal: 166-167
[8] Ibid,
hal: 167
[9] Ibid,
hal: 174
[10] Ibid,
hal: 175
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Toto
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013),
hal: 240
[14] Abudin
Nata, Op.Cit, hal 175-176
[15] Toto
Suharto, Op.Cit, hal: 241
[16] Ibid,
hal: 242
[17] Ibid,
hal: 245