Pages

Selasa, 29 April 2014

Hadis tentang Berhadas Dalam Masjid

Hadis Bukhari No. 434 tentang “Berhadas Dalam Masjid”

A. Lafal Hadis
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أبِى الزِّنَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْمَلَائكَةُ تُصَلِّى عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِى مُصَلَّاهُ الَّذِى صَلَّى فِيْهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ، تَقُوْلُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ

B.  Arti Hadis
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abu Zinad dari A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Malaikat bershalawat (mendoakan) terhadap salah seorang di antara kamu selama berada di tempat shalatnya, selama ia belum berhadats." Para malaikat mengatakan, "Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah rahmatilah dia."

C.    Kata Sulit
دَامَ مَا= selama

D.  Keterangan Hadis
Ibnu Hajar Al-Asqalani menuliskan dalam kitabnya, Fathul Baari:
Al Maziri berkata, "Imam Bukhari mengisyaratkan dengan perkataan ini sebagai bantahan terhadap mereka yang melarang orang yang berhadats masuk masjid atau duduk di dalamnya, serta menjadikan orang yang berhadats seperti orang junub." Perkataan Al Maziri berdasarkan, bahwa pengertian hadats dalam hadits di atas adalah kentut atau sepertinya. Demikianlah penafsiran yang dikemukakan oleh Abu Hurairah seperti yang disebutkan dalam kitab "Thaharah (bersuci)." Sementara pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadats dalam hadits lebih umum daripada penafsiran tadi, yakni mencakup perbuatan buruk. Pendapat ini didukung oleh riwayat Imam Muslim yang menyebutkan, مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيْهِ، مَا لَمْ يُؤْذِ فِيْهِ (Selama ia belum berhadats dan tidak mengganggu di dalamnya). Demikian pula disebutkan dalam riwayat Imam Bukhariمَا لَمْ يُؤْذِ فِيْهِ بِحَدَثٍ  (Selama ia tidak mengganggu di dalamnya dengan hadatsnya). Dalam hal ini akan dijelaskan bahwa riwayat yang kedua merupakan penafsiran riwayat yang pertama.
مَا دَامَ فِى مُصَلَّاهُ (selama berada di tempat shalatnya) Logikanya apabila ia telah berpindah dari tempat shalatnya, maka terputuslah hal-hal tersebut. Dalam bab "orang yang duduk di masjid menunggu shalat" akan dijelaskan tentang keutamaan orang yang shalat, baik ia menetap di tempat dimana ia melakukan shalat atau telah berpindah ke tempat lain di dalam masjid. Adapun lafazh, وَلَا يَزَالُ فِى صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ  (dia senantiasa berada dalam shalat selama menunggu shalat) menetapkan bahwa hukum orang yang menunggu shalat adalah seperti orang yang shalat. Mungkin lafazh,فِى مُصَلَّاهُ  (di tempat shalatnya) dipahami sebagai tempat yang tersedia untuk shalat, bukan tempat khusus dimana ia shalat. Dengan demikian tidak ada kontradiksi antara kedua hadits tersebut.
 مَا لَمْ يُحْدِثْ(selama ia tidak berhadats) kalimat ini menunjukkan bahwa hadats membatalkan semua itu meskipun ia masih tetap duduk di masjid. Dari sini diketahui pula bahwa berhadats di masjid lebih berat daripada membuang dahak,6 sebab membuang dahak telah disebutkan kafarat (tebusan)nya sedangkan berhadats tidak disebutkan kafaratnya. Bahkan pelakunya tidak mendapatkan permohonan ampunan dari para malaikat. Sedangkan doa para malaikat sangat mungkin untuk dikabulkan, berdasarkan firman Allah, "Dan mereka tiada memberi syafa'at melainkan kepada orang yang diridhai Allah." (Qs. Al Anbiyaa': 28). Adapun faidah hadits ini aka disebutkan pada bab "orang yang duduk menunggu shalat."

6 Masalah ini perlu dijelaskan secara mendetail; apabila yang dimaksud dengan hadats adalah kemaksiatan atau bid'ah maka apa yang dikatakan oleh Ibnu Hajar cukup beralasan. Namun bila yang dimaksud dengan hadats adalah kentut atau yang sepertinya diantara hal-hal yang merusak wudhu selain kencing dan yang sepertinya, maka apa yang dikatakan oleh beliau kurang tepat. Untuk itu yang benar adalah bolehnya hal tersebut atau tidak disukai namun tidak mencapai derajat haram, meskipun karenanya ia tidak mendapatkan shalawat (doa) para malaikat. Kemungkinan kedua ini didukung oleh keterangan yang disebutkan oleh Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits no. 477.

E.  Analisa Konteks Kekinian
Kini manusia telah banyak menyibukkan diri dengan urusan dunia. Hampir seluruh waktunya habis untuk melakukan aktivitas duniawi. Sedikit sekali waktu yang digunakan untuk beribadah, untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam melaksanakan ibadah sholat di masjid sekalipun, seusai salam, sebagian besar orang langsung beranjak dari tempatnya. Setidaknya ini lebih baik dari mereka yang tidak sholat di masjid bahkan tidak sholat, begitu mungkin argumennya.
Ini menunjukkan bahwa sudah minim sekali kesadaran menginfakkan waktu untuk Allah. Mobilitas aktivitas duniawi memunculkan mobilitas menjauh dari mendekatkan diri pada Allah. Karena itu sebagai masyarakat modern sudah saatnya untuk bangkit dan memperbaiki diri. Sudah saatnya untuk mengambil waktu untuk Allah, karena menyadari betapa besar balasan dan manfaat yang akan didapatkan.

Malaikat akan mendoakan mereka. Ketika kita didoakan oleh orang lain, pastilah kita merasa senang. Terlebih yang mendoakan adalah orang yang sholeh, harapan kita doa ini akan mustajab. Lantas betapa luar biasa ketika yang mendoakan kita adalah malaikat, makhluk yang selalu taat kepada Allah.

Makalah INTELIGENSI DALAM PSIKOLOGI PENDIDIKAN

BAB II
PEMBAHASAN

1.    Pengertian Inteligensi
Lewis Madison Terman pada tahun 1916 mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan seseorang untuk berpikir secara abstrak. H. H. Goddard pada tahun 1946 mendefinisikan inteligensi sebagai tingkat kemampuan pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang. V.A.C. Henmon mengatakan bahwa inteligensi terdiri atas dua faktor, yaitu kemampuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengetahuan yang telah diperoleh. Baldwin pada tahun 1901 mendefinisikan inteligensi sebagai daya atau kemampuan untuk memahami. Edward Lee Thorndike (1874-1949) pada tahun 1913 mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta.[1]
George D. Stoddard pada tahun 1941 mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang bercirikan mengandung kesukaran, kompleks, abstrak, ekonomis, diarahkan pada suatu tujuan, mempunyai nilai sosial, dan berasal dari sumbernya. Walters dan Gardber pada tahun 1986 mendefinisikan inteligensi sebagai suatu kemampuan atau serangkaian kemampuan-kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan masalah, atau produk sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu. Flynn pada tahun 1987 mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk berpikir secara abstrak dan kesiapan untuk belajar dari pengalaman.
Jadi inteligensi dapat diartikan sebagai keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari.


2.     Faktor Yang Mempengaruhi Inteligensi
Seperti yang kita ketahui bahwa setiap individu memiliki tingkat intelegensi yang berbeda. Hal ini seperti yang disebutkan diatas ada pandangan yang menekankan pada bawaan (pandangan kualitatif) dan ada yang menekankan pada proses belajar (pandangan kuantitatif) sehingga dengan adanya perbedaan pandangan tersebut dapat diketahui bahwa intelegensi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut, diantaranya adalah:
1.      Faktor Pembawaan
Faktor pembawaan merupakan faktor pertama yang berperan didalam intelegensi. Faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu, didalam satu kelas dapat dijumpai anak yang bodoh, agak pintar, dan pintar sekali, meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.
Misalnya saja, ada anak-anak yang dengan susah payah mengikuti suatu pelajaran, ada pula anak-anak yang dengan mudah dapat menangkap seluruh materi yang diberikan oleh gurunya. Betapapun anak-anak tidak dapat menangkap seluruh materi tersebut belajar, jika faktor pembawaannya kurang, dia tidak akan dapat menyaingi anak yang pintar.
2.      Faktor Minat dan Pembawaan yang Khas
Faktor minat ini mengarahkan perbuatan kepada sesuatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan atau motif yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luas, sehingga apa yang diminati oleh manusia dapat memberikan dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.
3.      Faktor Pembentukan
Pembentukan adalah segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Disini dapat dibedakan antara pembentukan sengaja, seperti yang dilakukan disekolah dan pembentukan yang tidak sengaja, misalnya pengaruh alam disekitarnya.
4.      Faktor Kematangan
Dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik maupun psikis, dapat dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila anak-anak belum mampu mengerjakan atau memecahkan soal-soal matematika dikelas empat SD, karena soal-soal itu masih terlampau sukar bagi anak. Organ tubuhnya dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk menyelesaikan soal tersebut dan kematangan berhubungan erat dengan umur
5.      Faktor Kebebasan
Faktor kebebasan artinya manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Disamping kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.

3.    Teori-Teori Tentang Inteligensi
1.      Teori Uni – Factor
Pada tahun 1911, Welhem Stern mengenalkan suatu teori yang disebut teori “Uni-factor theory”. Teori ini dikenal juga sebagai teori kepasitas umum. Menurut teori ini inteligensi merupakan sebagai kapasitas atau kemampuan umum. Oleh karena itu, inteligensi juga bersifat umum. Reaksi atau tindakan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan atau memecahkan masalah adalah bersifat umum pula. Kapasitas umum itu timbul akibat pertumbuhan fisiologi atau akibat  belajar. Kapasitas umum (General Capacity) yang ditimbulkan itu  lazim dikemukakan dengan kode “G”. 
2.      Teori “Two-Factors”
Pada tahun 1904 yaitu sebelum stern, seorang ahli matematika bernama Charles Spearman, mengajukan sebuah teori tentang inteligensi. Teori Spearman itu dikenal dengan sebutan “Two Kinds of Factors Theory”. Spearman mengembangkan teori inteligensi berdasarkan faktor mental umum yang diberi kode “G” serta faktor-faktor spesifik yang diberi tanda “S” menentukan tindakan-tindakan mental dalam mengatasi permasalahan.
Orang yang inteligensinya memiliki faktor “G” yang luas, memiliki kapasitas untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dia dapat mempelajari bermacam-macam pelajaran seperti matematika, bahasa, sains, sejarah, seni, dan sebagainya. Dengan menggunakan berbagai simbol abstrak. Orang yang faktor “G” sedang atau rata-rata,ia mempunyai kemampuan sedang untuk mempelajari bidang-bidang studi. Luasnya faktor “G” ditentukan pada gagasan, bahwa fungsi otak tergantung pada ada dan tidaknya struktur atau koneksi yang tepat bagi situasi atau masalah tertentu yang khisus. Dengan demikian luasnya faktor “S” mencerminkan kerja khusus dari otak, bukan karena struktur otak faktor “S” lebih bergantung pada organisasi neurologis yang berhubungan dengan kemampuan-kemampuan khusus.
3.      Teori “Multi-Factors”
Teori intellegensi Multi faktor dikembangkan oleh E.L Thomdike. Teori ini tidak berhubungan dengan konsep general ability atau faktor “G”. Menurut teori ini, inteligensi terdiri dari bentuk hubungan-hubungan neural antara stimulus dan respon.hubungan-hubungan neural ini yang mengarahkan tingkah laku individu. Ketika seseorang dapat menyebutkan sebuah kata, menghafal sajak, menjumlahkan bilangan atau melakukan pekerjaan, itu berrati bahwa ia dapat melakukan itu karena terbentuknya koneksi-koneksi dalam sistem syaraf akibat belajar atau latihan. Manusia diperkirakan memiliki 13 milyar urat syaraf sehingga memungkinkan hubungan neural yang banyak sekali. Jadi, inteligensi menurut teori ini adalah jumlah koneksi aktual dan potensial di dalam urat syaraf.
4.      Teori “Primari – Mental – Ability”
L.L Thurstone telah berusaha menjelaskan tentang inteligensi yang abstrak. Ia dengan menggunakan tes-tes mental dan teknik-teknik statistik khusus membagi kemampuan inteligensi menjadi tujuh kemampuan primer, yaitu:
a.       Kemampuan numerial/matematis
b.      Kemampuan verbal/bahasa
c.       Kemampuan abstraksi berupa kemampuan visualisasi dan berpikir
d.      Kemampuan menghubungkan kata-kata
Kemampuan membuat keputusan baik induktif maupun deduktif menurut teori “primari-Mental-ability” ini inteligensi merupakan penjelasan daripada penjelasan ke tujuh kemampuan itu adalah inde-penden serta menjadikan fungsi-fungsi pikiran yang berbeda atau berdiri sendiri. Para ahli menyoroti teori ini sebagai teori  yang mengandung kelemahan karena menganggap adanya pemisahan fungsi atau kemampuan pada mental individu. Menurut mereka  setiap kemmpuan individu adalah saling berhubungan secara integrative.
5.      Teori Sampling
Untuk menyelesaikan tentang inteligensi, Godfrey H. Thomson pada tahun 1916 mengajukan teori yang disebut teori sampling. Teori ini kemudian disempurnakan lagi dari berbgai sampel. Dunia berisikan berbgaai bidang pengalaman itu terkuasai oeh pikiran manusia tapi tidak semuanya. Masing-masing bidang hanya dikuasai sebagian-sebagian saja. Ini mencerminkan kemampuan mental manusia. Inteligensi berupa kemampuan yang over lapping. Inteligensi beroperasi dengan terbatas pada setiap sampel dari berbagai kemampuan atau pengalaman dunia nyata. Sebagai gambarannya, misalnya saja dunia nyata terdapat kemampuan atau bidang-bidang pengalaman A,B,C. Inteligensi bergerak sebagai sampel misalnya sebagian A, dan sebagian B atau dapat pula sebagian dari bidang A,B,dan C.[2]
6.      Teori Multiple Intelligence
Kecenderungan Ilmu Psikologi sekarang tidak lagi mengandalkan teori faktor “G”, tetapi beralih ke apa yang dinamakan “Kecerdasan Majemuk” atau MI (Multiple Inteligensi). Konsep MI ini dipopulerkan oleh Howard Gardner  (1943-....), seorang psikolog dari Harvard University, AS. Gardner menyatakan bahwa kecerdasan tidak terdiri dari satu yang umum dan beberapa yang khusus, melainkan memang benar-benar ada beberapa inteligensi khusus yang masing-masing mandiri, yaitu (dalam buku versi 1983) kecerdasan bahasa (linguistic), logika-matematika (logic-mathematical), ruang (spatial), gerak tubuh (bodily-kinesthetic), musik (musical), antarpribadi (interpersonal) dan dalam diri (intrapersonal). Dalam versi 1999 ditambah satu lagi, yang kedelapan, yaitu kecerdasan tentang alam (naturalistic intellegensi).[3]

4.    Tes Inteligensi
Tes inteligensi adalah tes yang digunakan untuk mengukur inteligensi seseorang. Tes ini ada bermacam-macam karena adaya perkembangan ilmu. Tes yang baik haruslah reliable dan valid. Orang yang pertama membuat tes untuk mengukur intelektual seseorang adalah Sir Francis Galton, sepupu Charles Darwin.
Galton mendasarkan tes inteligensinya pada asumsi bahwa keunggulan inteligensi seseorang tercermin dalam keunggulan kekuatan fisiknya. Dengan demikian, variabel yang diukur dalam tes inteligensinya adalah ukuran batok kepala, ketajaman penglihatan, ingatan terhadap bentuk visual, kemampuan bernafas, dan kekuatan genggaman tangan. Dia sangat kecewa, karena ternyata para cendekiawan yang tersohor di Inggris, ketika itu, tidak dapat dibedakan dengan orang biasa atas dasar ukuran batok kepala dan kuatnya genggaman tangan.[4]  Walau demikian, Galton telah berjasa memulai ide untuk mengukur inteligensi seseorang.
Selanjutnya dikembangkanlah tes inteligensi yang dianggap mendekati tes inteligensi kontemporer.
1.      Tes Binet-Simon
Tes ini diajukan oleh seotang dokter yang juga ahli psikologi berkebangsaan Perancis, Alfred Binet. Ia kemudian dibantu sejawatnya, Theophile Simon. Seri tes Binet-Simon ini pertama kali diumumkan antara 1908-1911, yang diberi nama Chelle Matrique de Inteligence atau skala pengukur inteligensi.[5]
Tes Binet-Simon memperhitungkan 2 hal, yaitu:[6]
a.       Umur kronologis (chronological age –CA), yaitu umur seseorang sebagaimana yang ditunjukkan dengan hari kelahirannya atau lamanya ia hidup sejak tanggal lahirnya
b.      Umur mental (mental age –MA), yaitu umur kecerdasan sebagaimana yang ditunjukkan oleh tes kemampuan akademik.
Tes kecerdasan dari Binet diperuntukkan bagi anak berumur 2 sampai 15 tahun. Untuk tiap tingkat usia disediakan enam sub tes untuk setiap dua bulan. Jumlah sub tes yang bisa dijawab dengan benar menunjukkan usia mental dari anak tersebut.[7] Lantas dilihat apakah usia mental anak sesuai degan usia kronologisnya.
Butir soal tes yang pada umumnya dikembangkan oleh Binet, dikembangkan lagi oleh Lewis Terman di Stanford University. Pada tahun 1916 ia mempublikasikan revisi Stanford dari tes Binet, yang kemudian dikenal dengan nama Stanford Binet Intelligence Scale; dan direvisi lagi pada tahun 1937, 1960, 1972, dan terakhir pada tahun 1986. Terman menerapkan indeks inteligensi praktis yang disarankan oleh ahli psikologi Jerman, William Stern. Indeks ini adalah intelligence quotient yang lazim dikenal sebagai IQ. Indeks ini mengekspresikan inteligensi sebagai rasio usia mental (MA) terhadap usia kronologis (CA).[8]
IQ=  X 100
Untuk menginterpretasikan nilai IQ, Terman mengklasifikasikan IQ dalam beberapa kategori, sebagai berikut:[9]


IQ
Deskripsi Verbal
Persentase Populasi dalam Setiap Kelompok
0-19
Idiot
1
20-49
Embicile

50-69
Moron
2
70-79
Inferior
6
80-89
Bodoh
15
90-109
Normal
46
110-119
Pandai
18
120-129
Superior
8
130-139
Sangat Superior
3
140-179
Gifted

180 ke atas
Genius
1

2.      Tes Wechsler
Ini adalah tes inteligensi yang dibuat oleh Wechsler Bellevue tahun 1939. Tes ini ada dua macam. Pertama untuk umur 16 tahun ke atas, yaitu Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) dan yang kedua untuk anak-anak yaitu Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC). Tes Wechsler meliputi dua sub, verbal dan performance (tes lisan dan perbuatan, serta keterampilan). Tes lisan meliputi pengetahuan umum, pemahaman, ingatan, mencari kesamaan, hitungan dan bahasa. Sedangkan tes keterampilan meliputi menyusun gambar dan sandi (kode angka-angka).[10] Tes Wechsler ini berbeda dengan tes Binet. Dalam tes Binet diadakan pertandingan antara MA dan CA, sedangkan dalam tes Wechsler tes IQ hanya semata-mata hasil dari MA saja.[11] Namun keduanya sama-sama dilakukan secara perorangan.
3.      Tes Army Alfa dan Betha
Tes ini digunakan untuk mengetes calon-calon tentara di Amerika Serikat. Tes Army Alfa khusus untuk calon tentara yang pandai membaca, sedangkan Army Betha untuk calonn yang tidak pandai membaca. Tes ini pada mulanya untuk memenuhi keperluan yang mendesak dengan menyeleksi calon tentara waktu perang dunia dua. Salah satu kelebihannya dibandingkan dengan tes Binet-Simon dan tes Wechsler adalah tes ini dilaksanakan secara rombongan (kelompok) sehingga menghemat waktu.[12]
4.      Tes Progressive Matrices
Tes inteligensi ini diciptakan oleh L.S. Penrose dan J.C. Laven di Inggris tahun 1938. Tes ini dapat diberikan secara rombongan dan perorangan. Berbeda dengan Binet dan Wechsler, tes ini tidak menggunakan IQ tetapi menggunakan Percentile.[13]
Persentil menunjukkan kedudukan persen seseorang di antara suatu populasi. Seorang yang inteligensinya menduduki percentile 75 berarti berada di atas 75% drai seluruh populasi, suatu kedudukan yang termasuk tinggi.[14]
Tes intelegensi juga dapat dikelompokkan menjadi tes individual dan tes kelompok. Tes individual dilakukan secara personal, seperti tes Binet, tes Wechsler. Sementara tes kelompok dilakukan bersama sekaligus, seperti tes Army Alfa dan Betha.
Tes kelompok lebih nyaman dan ekonomis ketimbang tes individual, namun juga ada kekurangannya. Saat tes dilakukan pada satu kelompok besar, peneliti tak dapat menyusun laporan individual, menentukan tingkat kecemasan murid, dan sebagainya. Dalam situasi tes kelompok besar, murid mungkin tidak memahami instruksi atau mungkin diganggu oleh murid lainnya.[15]

5.    Ciri-ciri Perilaku Inteligensi
Menurut Whitherington, sebutan inteligensi atau keerdasan ebetulnya kurang tepat. yang lebih tepat adalah “ kelakuan cerdas”. Alasannya, kalau disebut inteligensi, seakan-akan itu melekat pada badan, menurutnya inteligensi bukan merupakan benda (substansi), melainkan suatu pengertian, yaitu kumpulan kelakuan yang menunjukkan hal yang cerdas. Pengertian inteligensi menurut Whitherington, mempunyai ciri-ciri hakiki sebagai berikut:
1.      cepat; makin cepat suatu pekerjaan diselesaikan, makin cedaslah orang yang menyelesaikan.
2.      cekatan; biasanya dihubungkan dengan pekerjaan tangan dengan mudah dan ringkas dalam menjelaskan sesuatu.
3.      tepat; sesuai dengan tuntunan keadaan, misalnya mengukur jalan yang panjang dengan besaran yang benar pula. Juga berarti mengukur dengan tepat, tidak lebih tidak kurang.
Dengan demikian, dapatlah disebut bahwa inteligensi adala kesemournaan perbuatan kecerdasan. Yang dimaksud kecerdasan ialah kecerdasan (activity) yang efisien. dan dikatakan efisien apabila memenuhi ketiga ciri-ciri hakiki diatas.[16]
Penjelasan yang lebih jelas mengenai ciri-ciri tingkah laku atau perilaku inteligensi ini dikemukakan oleh Ngadim Purwanto. Dikatakan, suatu perbuatan dapat dianggap inteligen bila memenuhi syarat antara lain:
o   Masalah yang dihadapi sedikit banyak merupakan masalah yang baru bagi yang bersangkutan. Seumpama, ada soal: “mengapa api jika ditutup dengan sehelai kalung bisa padam?” apabila ditanyakan pada anak yang baru bersekolah dan ia dapat menjawab dengan betul, jawaban itu inteligen. Akan tetapi, jika pertanyaan itu dijawab oleh anak yang baru mendapatkan pelajaran tentang ilmu tentang api, hal itu dapat dikatakan inteligen.
o   Perbuatan inteligen sifatnya sarasi tujuan dan ekonomis. Untuk mencapai tujuan yang hendak diselesaikan, dicarikan jalan yang dapat menghemat waktu maupun tenaga.
o   Masalah yang dihadapi harus mengandung tingkat kesulitan bagi yang bersangkutan. Ada suatu masalah yang bagi orang dewasa mudah dipecahkan atau dijawab, hampir tanpa berfikir. Sedangkan bagi anak anak harus dijawab dengan berfikir. Apabila seorang anak bisa menjwab jawaban itu maka anak itu inteligen.
o   Keterangan pemecahannya harus dapat diterima oleh masyarakat. Misalnya, apa yang harus anda perbuat jika anda lapar? kalau jawabnya saya harus mencuri makanan, tentu saja jawaban itu  tidak inteligen.
o   Perbuatan nteligen seringkali menggunakan daya mengabstraksi. pada waktu berpikir tanggapan dan ingatan yang tidak perlu, harus disingkirkan.
o   Perbuatan inteligen bercirikan kecepatan. Proses pemecahannya relatif cepat, sesuai dengan masalah yang dihadapi.[17]
o   Membutuhkan pemusatan perhatian dan menghindarkan perasaan yang mengganggu jalannya pemecahan maalah yang sedang dihadapi.[18]

6.    Kontroversi Inteligensi
Apakah  ada faedahnya untuk menggunakan skor tes kecerdasan murid guna menempatkan mereka dalam kelompok kemampuan? Ada dua  tipe pengelompokan kemampuan telah dipakai di dalam dunia pendidikan yaitu: pengelompokan antar kelas dan pengelompokan dalam kelas. Berikut ini penjelasannya:
1.       Pengelompokan kemampuan antar kelas.
Tipe pengelompokan ini mengelompokan murid berdasarkan kemampuan atau prestasi mereka.Penelusuran (tracking) telah lama dipakai di sekolah sebagai cara mengorganisasi murid terutama di tingkat menengah (Slavin, 1990, 1995). Penelusuran diyakini bisa mengelompokan rentang keahlian dalam kelompok murid, sehingga memudahkan guru mengajar mereka.Penelusuran kemampuan ini diyakini bisa mencegah murid yang kurang mampu untuk masuk ke kelompok murid yang lebih mampu.Pengelompokan antar kelas adalah membagi murid ke dalam jalur persiapan ke universitas dan jalur umum. Di dalam dua jalur ini, dapat dilakukan pengelompokan lebih jauh, seperti dua level pelajaran matematika untuk murid yang akan masuk kuliah. Bentuk penelusuran  kemampuan lainnya adalah dengan mempertimbangkan area kemampuan yang berbeda-beda. Misalnya murid yang sama mungkin bisa masuk ke kelompok jalur cepat matematika dan bahasa Inggris. Pengkritik pendekatan ini mengatakan bahwa cara ini menstigmasi murid yang dimasukkan ke kelompok kelas lemah (Smith-Maddox & Wheelock, 1995). Misalnya murid dapat dicap sebagai kelompok “jalur lambat” atau “kelompok bodoh”
. Para pengkritik  juga menekankan bahwa kelas untuk ’’jalur lambat’’ kerap diajar oleh guru yang kurang berpengalaman, sedikit sumber daya, dan ekspetasi rendah (Wheelock, 1992). Ringkasnya pengelompokan atau penjaluran adalah isu kontroversial karena membatasi kemampuan murid yang dikelompokan sebagai kelompok lemah dalam belajar.Sering kali skor pada tes IQ kelompok sebagai kelompok lemah dalam belajar.Seringakali skor pada tes IQ kelompok dipakai untuk menempatkan murid dalam jalur khusus.Peneliti telah menemukan bahwa tes IQ kelompok bukan predictor yang baik tentang seberapa baguskah murid dalam mempelajari area tertentu.
 2.      Pengelompokan kemampuan dalam kelas.
Pengelompokan ini menempatkan murid dalam dua atau tiga kelompok di dalam kelas dengan mempertimbangkan perbedaan kemampuan murid.Pengelompokan kemampuan dalam kelas ini biasanya dilakukan disekolah dasar dimana guru mengelompokan muridnya berdasarkan kemampuan membacamereka. Guru kelas dua mungkin memberi tugas pada satu kelompok untuk membaca buku biasa dipakai untuk kelas tiga semester pertama; kelompok lainnya mungkin diberi tugas untuk kelas dua semester pertama; dan kelompok tiga memakai tugas untuk kelas satu semester kedua. Pengelompokan dalam ere kelas ini biasanya dilakukan di sekolah menengah.Area mata pelajarannya biasanya adalah membaca dan matematika.Meskipun banyak guru di sekolah dasar menggunakan pengelompokan kemampuan dalam kelas, tidak ada riset yang mendukung strategi ini.



[1]Jhon W. Santrock, Psikologi Pendidikan, ed.2, (Jakarta: Kencana, 2010), hal.134
[2] Abdul Rahman dan Shaleh Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 184-188
[3] Sarlito W. Sarwono, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hal. 158
[4] Alex Sobur, Psikologi Umum Dalam Lintas Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hal. 165
[5] Ibid
[6] Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, op. cit. Hal:193
[7] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hal: 99
[8] Alex Sobur, op.cit. hal: 166-167
[9] Ibid. hal:170
[10] Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, op. cit. Hal: 194-195
[11] Alex Sobur, op.cit. hal: 174
[12] Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, op. cit. Hal: 195
[13] Ibid.
[14] Nana Syaodih Sukmadinata, op.cit. hal: 100.
[15] Jhon W. Santrock, op.cit., hal.137
[16]Alex Sobur. PsikologiUmum. Pustaka Setia. 2003. hal. 159
[17]Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab. Psikologi Suatu Pengantar dalam Prespektif Islam. Jakarta: Kencana. 2004. hal. 188-189
[18] Alex Sobur. Op,. Cit. hal. 160